Terkadang, dalam kesendirian, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri: apakah Napoleon pernah merasa ragu saat berdiri di hadapan pasukannya, menanggung beban besar atas nasib bangsa yang dipimpinnya? Ataukah Christopher Columbus, di tengah perjalanan yang penuh ketidakpastian, pernah merasa ingin menyerah dan kembali pulang, meninggalkan laut luas yang tak ada ujungnya? Aku tak tahu jawabannya, tetapi yang aku tahu pasti adalah, kini aku berdiri di tempat yang sama. Bukan karena mereka yang kumimpin tidak berusaha, bukan karena mereka tak berkontribusi, melainkan karena aku merasa terjepit dalam tekanan yang tak terungkapkan—beban yang semakin berat setiap harinya, yang perlahan menyusup ke dalam setiap tindakan dan perkataanku.
Tim ini, tim yang selama ini menjadi andalanku, tim terbaik yang pernah kumiliki dalam hidupku, kini mulai tampak jauh di belakang. Bukan karena mereka tidak mampu mengikuti, tetapi karena aku terlalu cepat berlari, melangkah maju tanpa memberi kesempatan mereka untuk mengejar. Aku terlalu takut, terlalu cemas bahwa jika aku berhenti, jika aku melambat, maka semuanya akan runtuh. Aku takut komunitas ini akan hancur, bahwa semua yang telah kita bangun akan sirna begitu saja. Namun, dalam ketakutanku itu, aku melupakan satu hal—bahwa mereka yang mengikutiku, yang selalu berdiri di sisiku, kini mulai tertinggal.
Aku sadar, aku terlalu fokus pada tujuanku yang jauh di depan, terlalu terobsesi dengan visi dan impian besar yang ingin kulihat terwujud. Dalam kecepatan itu, aku lupa untuk melihat ke belakang, untuk memastikan bahwa mereka yang mengikutiku tidak merasa tertinggal. Mereka mungkin tak pernah mengeluh, mereka mungkin terus berjalan dengan tenang, tetapi dalam diam, ada kelelahan yang tak terungkapkan, ada rasa bingung yang perlahan tumbuh, dan mungkin, bahkan sedikit kebencian terhadapku yang terlalu keras, terlalu tegas, yang sering kali mengabaikan kenyataan bahwa mereka pun manusia—yang membutuhkan ruang untuk bernafas, untuk berkembang tanpa merasa tertekan.
Aku tidak bisa memberi tahu mereka tentang ketakutanku. Aku tak bisa memberitahukan mereka betapa cemasnya aku, betapa aku takut semuanya akan berakhir begitu saja. Aku bukan Bill Gates yang bisa menggaji karyawan-karyawan terbaik dengan kekayaan yang melimpah, aku bukan pejabat dengan kekuatan politik yang bisa melindungi mereka dari segala ancaman. Aku hanyalah seorang pemimpin yang berdiri di garis depan, melindungi mereka dengan segala yang aku punya, tetapi dalam perlindunganku itu, aku justru terlupa bahwa mereka, perlahan, semakin tertinggal jauh di belakang. Aku tak sadar bahwa aku, dengan setiap langkah yang kutempuh, malah meninggalkan mereka dalam keletihan yang tak bisa mereka ungkapkan.
Kini, aku harus bertanya pada diriku sendiri: apakah aku cukup kuat untuk berhenti sejenak, untuk berbalik, dan memberi mereka kesempatan untuk mengejarku? Ataukah aku akan terus melangkah, tanpa menoleh, hingga aku sendiri kehilangan apa yang telah aku perjuangkan? Aku tahu, seperti halnya Napoleon dan Columbus yang pernah meragukan langkah mereka, aku pun memiliki kelemahan. Dan mungkin, sekarang saatnya untuk merasakan keraguan itu, untuk meresapi setiap detik dari perjalanan ini dan mulai mencari cara agar kami semua, sebagai sebuah tim, bisa terus maju bersama.
