Ada wajah-wajah yang hanya lewat sebentar dalam hidup kita, namun meninggalkan bekas sepanjang usia. Ada tawa-tawa yang barangkali hanya sekali terucap, tetapi gema kehangatannya tak pernah benar-benar lenyap. Dan ada sosok seorang sahabat yang pernah hadir dalam hidupku, bukan sekadar menjadi kawan berbagi cerita, melainkan juga penyejuk jiwa. Hingga hari ini, ketika aku menulis baris-baris ini, aku masih bisa merasakan sisa kehangatan yang pernah kau tinggalkan.
Mengenangmu sungguh di kalbuku. Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain itu. Keberadaanmu pernah menempati ruang yang tak bisa digantikan siapa pun, sebuah ruang yang diselimuti oleh syukur, harapan, sekaligus sedikit penyesalan. Senyummu, entah bagaimana, selalu punya kuasa untuk mendamaikan hatiku yang sering kali resah. Kau mungkin tidak pernah tahu, tapi dalam setiap tawamu ada ketenangan yang merembes masuk, pelan-pelan, seperti hujan yang membasuh tanah kering.
Aku selalu merasa tidak sebanding denganmu. Ada kegelisahan yang sulit kugambarkan, bahwa aku terlalu sering merisaukan hatimu, khawatir pada hal-hal kecil yang mungkin bahkan tak pernah mengganggumu. Aku ingin kau baik-baik saja, selalu. Dan justru dari situlah lahir rasa yang begitu halus yaitu sebuah keinginan untuk menjagamu, meski tak selalu bisa kupenuhi dengan perbuatan nyata.
Aku masih ingat jelas, perjumpaan pertama kita. Rasanya seperti mimpi yang terbeli. Ada keajaiban kecil yang sulit dijelaskan, bagaimana seseorang bisa hadir begitu tiba-tiba lalu dengan mudah masuk ke dalam hidup orang lain. Kau datang, namun sejak itu, segalanya tidak pernah sama lagi.
Aku mengenalmu bukan sekadar dari kata-kata atau pertemuan singkat, tetapi dari cara matamu berbicara, dari ketulusanmu yang jarang kutemui di dunia yang kian tak adil ini. Kamu seperti udara yang tak terlihat, tapi begitu terasa keberadaannya. Kamu seperti energi yang menyalakan semangat bahkan di saat aku hampir padam.
Jika aku mencoba menyusun kata-kata untuk menjelaskan rasa itu, semuanya terdengar sederhana. Namun yang kurasakan saat itu jauh melampaui kata. Kau hadir, dan sejak itu aku tahu bahwa sebagian dari diriku tidak akan pernah sama lagi.
Kita pernah melalui banyak hal, bukan? Ada derita, ada bahagia. Kita melewatinya bersama-sama, dengan cara yang barangkali hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang pernah terhubung begitu erat. Kita belajar menertawakan kepahitan, sekaligus menangisi kebahagiaan yang terlalu indah untuk cepat hilang.
Aku ingat percakapan panjang kita, tentang dunia, tentang mimpi, bahkan tentang ketakutan yang tak pernah kita bagi pada siapa pun. Aku ingat bagaimana kita bisa saling menguatkan dalam sepi. Aku ingat bagaimana sekadar keberadaanmu sudah cukup untuk membuat hidup terasa lebih ringan.
Sungguh, kalau bukan karena kehadiranmu waktu itu, aku tak tahu apakah aku bisa melewati masa-masa yang begitu berat. Kau seperti belahan jiwa, meski bukan dalam arti yang sering dibicarakan orang-orang tentang cinta. Kau adalah bagian yang hilang dari diriku yang ternyata bisa ditemukan dalam bentuk persahabatan.
Pernah aku mencoba menuliskan rasa ini dalam bentuk puisi, lagu, bahkan doa. Tapi sungguh, tidak ada cukup kata atau bait yang mampu melukiskan betapa agungnya rasa syukurku atas kehadiranmu.
Seberapa pun banyaknya lagu cinta yang diciptakan, tak satu pun bisa sepenuhnya menggambarkan apa yang kurasakan tentangmu. Karena hubungan kita bukan sekadar kisah biasa. Ia adalah anugerah yang menembus batas bahasa. Ia adalah kenangan yang lebih menyerupai doa daripada cerita.
Syukurku atas kehadiranmu, penuh cinta dan kasih. Tidak berlebihan jika kukatakan bahwa aku adalah orang yang lebih baik karena pernah mengenalmu. Engkau membuatku memahami arti menjaga, arti memberi tanpa mengharap balasan, arti mencintai tanpa harus memiliki.
Hari-hari itu telah lewat. Kau dan aku kini berjalan di jalan yang berbeda. Waktu, keadaan, dan takdir membawa kita ke arah yang tak lagi sama. Ada jarak yang tak terelakkan, ada kesibukan yang tak bisa dihindari, dan ada kehidupan yang harus terus kita jalani masing-masing.
Namun, apakah itu berarti kehadiranmu hilang begitu saja? Tidak. Sama sekali tidak. Hingga kini, jejakmu masih tertinggal. Dalam doa, dalam ingatan, bahkan dalam cara aku memandang hidup.
Ada luka kecil di sana, tentu saja. Luka karena kehilangan keseruan yang dulu begitu nyata. Luka karena tidak bisa lagi mendengar tawamu setiap hari. Luka karena sadar bahwa tidak semua yang indah bisa bertahan selamanya. Tapi luka itu pun kubiarkan menjadi bagian dari syukur. Sebab tanpa luka itu, aku tidak akan tahu betapa berharganya kehadiranmu.
Jika kau membaca tulisan ini, aku ingin kau tahu bahwa tidak ada penyesalan dalam mengenalmu. Yang ada hanyalah rasa terima kasih yang tidak pernah cukup kuucapkan.
Kau mungkin tidak sadar betapa berharganya peranmu dalam hidupku. Kau mungkin menganggap semua itu biasa saja. Tapi bagiku, itu adalah anugerah. Kau membuatku percaya bahwa persahabatan bisa sedekat doa, bisa sekuat cinta, dan bisa setulus kasih.
Aku berdoa semoga hidupmu kini selalu dipenuhi cahaya. Semoga apa pun yang kau lakukan membawa damai di hatimu. Semoga kau selalu dikelilingi orang-orang yang menjaga dan menyayangimu, sebagaimana dulu aku ingin menjagamu.
Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita lagi, aku hanya ingin bisa tersenyum dan berkata terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidupku.
Dari semua ini aku belajar, bahwa tidak semua orang hadir untuk tinggal selamanya. Ada yang hanya singgah sebentar, lalu pergi, tetapi meninggalkan bekas yang tak mungkin hilang. Dan kau Dila, kamu adalah salah satunya.
Kehadiranmu mengajarkanku untuk lebih menghargai setiap momen, setiap tawa, setiap percakapan. Pergimu mengajarkanku untuk berdamai dengan kehilangan, untuk menerima bahwa tidak semua yang kita genggam bisa kita pertahankan.
Namun, justru karena itu, aku semakin bersyukur. Bersyukur karena sempat mengenalmu. Bersyukur karena sempat merasakan hangatnya persahabatan yang tulus. Bersyukur karena kau pernah ada, meski kini hanya bisa kukenang.
Kini, setiap kali aku mengenangmu, aku tidak lagi merasakan perih yang terlalu tajam. Yang ada hanyalah melankolia yang lembut, seperti senja yang pelan-pelan tenggelam. Aku belajar untuk menerima bahwa sebagian kisah memang hanya ditulis di masa lalu, tanpa harus dilanjutkan di masa kini.
Namun percayalah, sahabatku, engkau tidak pernah benar-benar hilang. Kau tetap ada, dalam kalbu yang selalu mengenangmu dengan rasa damai. Kau tetap ada, dalam syukur yang kupanjatkan pada Tuhan. Kau tetap ada, dalam doa-doa yang tak pernah berhenti mengharapkan kebahagiaanmu.
Tidak ada lagu cinta yang cukup untuk melukiskan rasa ini, begitu pun tidak ada tulisan yang cukup panjang untuk menampung seluruh syukurku. Tapi biarlah artikel ini menjadi secuil persembahan dariku. Tentang sebuah surat hati yang melankolis untukmu, sahabat yang pernah hadir, yang kini hidup sebagai kenangan, dan yang akan selalu abadi dalam jiwa.
Yogyakarta, 19 September 2025




0 komentar:
Posting Komentar