Di tengah samudra yang tak lagi riuh oleh ombak, sebuah kapal berhenti bukan karena kerusakan mesin atau badai yang menggila, tetapi karena sesuatu yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih berbahaya: keretakan kepercayaan.
Cerita ini bukan tentang laut, setidaknya bukan hanya itu. Ini tentang kapal yang ditumpangi oleh lebih dari sekadar muatan, melainkan oleh ego, loyalitas, dan mimpi-mimpi yang diam-diam saling bersaing. Di dalam kapal itu, dua nahkoda berbagi kemudi di bawah keadaan darurat. Sebuah pilihan yang rasional saat badai menghadang, namun justru jadi pemantik ketegangan yang membakar lambat-lambat.
Saat keputusan penting diambil tanpa suara voting yang demokratis, saat jalur komando tak lagi dihormati oleh semua, sesuatu mulai bergerak dari balik bayangan. Tuduhan disusun, opini dipelintir, dan sejumlah kru yang menganggap dirinya "pembaharu" pun memulai rencana penggulingan dengan penuh strategi. Mereka bukan pembangkang terang-terangan. Mereka pintar. Tertawa di meja makan, tapi diam-diam mengatur siasat untuk menguasai geladak.
Namun di sisi lain kapal, di ruang-ruang kecil dan sunyi, beberapa kru mulai menyadari bahwa yang mereka naiki bukan sekadar kapal baja. Ini adalah tempat kerja, tempat hidup, tempat pulang. Dan jika kapal ini retak, maka mereka semua akan karam bersama.
Maka terbentuklah sebuah koalisi. Bukan dari orang-orang sempurna, tapi dari mereka yang cukup sadar bahwa sesuatu harus diselamatkan. Bukti demi bukti dikumpulkan, rekaman diputar ulang, dan setiap suara yang pernah terucap diam-diam, kini jadi amunisi kebenaran. Mereka tidak menuduh, mereka hanya menyalakan lampu sorot agar yang selama ini disembunyikan bisa terlihat dengan jelas.
Dan pagi itu pun datang.
Kabut pelabuhan Mumbai belum sempat pecah, ketika sirene darurat dibunyikan. Seluruh kru terbangun, masih dengan mata bengkak dan napas pendek. Di geladak, dua nahkoda berdiri berdampingan. bukan sebagai penguasa, tapi sebagai manusia yang siap membuka semua tabir.
Satu per satu rekaman diputar. Kalimat demi kalimat yang pernah dilontarkan dalam bisikan kini menggema di seluruh kapal. Intrik terbongkar. Manipulasi terkuak. Kebenaran, seperti ombak besar, menghantam semua ego yang pernah mencoba berdiri terlalu tinggi.
Kapal itu akan tetap berlayar, iya. Tapi tidak dengan cara yang sama.
Ada perubahan besar yang tak dikira oleh siapa pun.
Sebuah keputusan yang mengubah arah cerita dan arah hati mereka yang menyaksikannya.
Apa yang sebenarnya terjadi di pagi yang penuh kabut itu?
Mengapa kapal itu akhirnya kembali tenang, tapi meninggalkan jejak kehilangan yang sulit dijelaskan?
Dan, yang lebih penting…
siapa yang masih berdiri di geladak saat peluit keberangkatan akhirnya ditiupkan kembali?
Sebuah Drama Laut yang Menggetarkan Jiwa
"Yang Belum Pantas" adalah kisah yang memadukan strategi, etika kepemimpinan, dan renungan mendalam tentang relasi manusia di bawah tekanan. Lebih dari sekadar cerita konflik internal, ini adalah potret bagaimana kekuasaan bisa menjadi pedang bermata dua. mampu memimpin, namun juga bisa membelah dari dalam. Jika kamu menyukai fiksi sastra Indonesia yang kaya akan nuansa psikologis, ketegangan moral, dan penggambaran karakter yang berlapis, maka cerita ini akan menjadi pelayaran batin yang layak kamu ikuti.
Yogyakarta, 25 Juli 2025

0 komentar:
Posting Komentar