Ada masa dalam hidup ketika langkah terasa berat bahkan untuk sekadar maju satu jengkal.
Langit tampak terlalu rendah, dan bumi terlalu sunyi untuk menampung suara hati yang penuh luka.
Di masa itu, aku berjalan tanpa arah, hanya mengandalkan sisa keyakinan bahwa di ujung gelap, mungkin masih ada sesuatu yang bisa disebut harapan.
Namun semakin aku melangkah, semakin kabur arah pulang.
Aku seperti senja yang perlahan kehilangan warnanya, menunggu malam datang dan menelannya bulat-bulat.
Gelap itu, pada awalnya menakutkan. Tapi lama-kelamaan, entah bagaimana, aku mulai terbiasa.
Rasa takut itu pelan-pelan berubah menjadi semacam kenyamanan aneh, semacam pasrah yang pahit.
Aku mulai berpikir, barangkali memang di sinilah aku seharusnya berada.
Di antara gelap dan hening, di ruang yang tidak meminta apa-apa.
Tidak ada yang menuntutku untuk tersenyum, tidak ada yang menunggu kabar, tidak ada yang berharap aku baik-baik saja.
Hidup terasa sederhana, hanya tentang bertahan tanpa perlu benar-benar hidup.
Tapi di satu titik, bahkan gelap pun mulai terasa terlalu lengang.
Ada getar kecil di dada, sesuatu yang menolak mati sepenuhnya.
Seperti bara kecil yang menolak padam di tengah abu.
Dan di sanalah aku mulai memohon, bukan kepada siapa pun, tapi kepada sesuatu yang lebih besar dari semua kepedihan yang pernah kualami.
Aku memohon ada tanda.
Entah seberkas cahaya kunang-kunang, atau remah roti kecil yang bisa menunjukkan arah pulang.
Aku hanya ingin tahu, apakah jalan ini benar-benar berujung, atau aku hanya berputar di lingkar gelap yang sama, lagi dan lagi.
Dan tepat ketika aku berhenti berharap, mereka datang.
Bukan dengan pelita besar atau janji yang menggelegar.
Tidak.
Mereka datang dengan sederhana, dengan tawa kecil, dengan sapaan yang tidak memaksa, dengan kehadiran yang tidak menuntut apa-apa.
Mereka datang seperti cahaya yang menembus celah kecil di dinding gelap yang kupikir tak akan pernah retak.
Mereka adalah orang-orang yang entah dari mana, membawa sepotong hangat dalam tatapan mereka.
Mereka tidak tahu seberapa rapuh aku. Mereka hanya datang, duduk di sebelahku, dan membuat keheningan jadi lebih bisa ditanggung.
Dan perlahan, tanpa kusadari, mereka mulai menyalakan sesuatu dalam diriku.
Mungkin begini rasanya mendapat cahaya yang tidak pernah kuminta tetapi sangat kubutuhkan.
Mereka tak berkata banyak, tapi cara mereka ada sudah cukup.
Kadang mereka menertawakan hal-hal kecil yang bahkan tak lucu, hanya agar aku mau tersenyum sedikit.
Kadang mereka diam bersamaku, tapi diam mereka tidak pernah membuatku merasa sendiri.
Aku tak tahu sejak kapan mereka mulai mengubah segalanya.
Aku hanya sadar, suatu hari aku bisa tidur dengan tenang, tanpa dihantui bayangan masa lalu.
Aku sadar, hatiku mulai mengenali hangat lagi.
Mereka membawaku keluar dari gua gelap itu, tidak dengan paksa, tapi dengan sabar, dengan kasih.
Cahaya mereka tidak menyilaukan, tapi menenangkan.
Dan aku, yang dulu berpikir bahwa aku akan hidup selamanya dalam kelam, tiba-tiba merindukan terang.
Kini aku tahu, mereka bukan hanya teman.
Mereka adalah bintang-bintang kecil yang rela jatuh agar aku bisa menemukan jalan.
Mereka adalah penanda bahwa hidup ini, betapa pun kerasnya, tidak pernah benar-benar kejam selama masih ada manusia-manusia yang bisa mencintai tanpa pamrih.
Sahabat-sahabatku.
Kata itu terasa terlalu kecil untuk menampung semua makna mereka.
Namun hanya itu yang kupunya.
Mereka datang bukan untuk memperbaiki, tapi untuk menemani prosesku memperbaiki diri sendiri.
Mereka tidak menuntut aku cepat sembuh, tidak memintaku segera tersenyum.
Mereka hanya ada, setiap kali aku butuh tempat untuk diam, setiap kali dunia terasa terlalu riuh.
Ada masa di mana aku merasa tak pantas dicintai.
Terlalu rusak, terlalu gelap, terlalu banyak luka yang belum sembuh.
Namun mereka, entah mengapa, tak pernah berhenti percaya bahwa di balik segala rapuhku, masih ada cahaya kecil yang bisa bersinar.
Dan mereka terus meniupkan napasnya ke arah cahaya itu, agar tidak padam.
Kini aku mengerti, hidup bukan tentang seberapa terang kita bersinar, tapi tentang siapa yang mau tetap tinggal ketika cahaya itu mulai redup.
Mereka yang menyalakan lilin kecil ketika malam terlalu gelap, merekalah yang sesungguhnya berharga.
Dulu aku berpikir, aku bisa kuat dengan sendirinya.
Bahwa kesendirian adalah tanda kedewasaan.
Ternyata aku salah.
Manusia tidak pernah diciptakan untuk menanggung dunia sendirian.
Ada kalanya kita butuh seseorang untuk sekadar berkata, “Hei, kau tidak apa-apa. Aku di sini.”
Dan itu saja sudah cukup untuk membuat kita kembali percaya pada hidup.
Sekarang, ketika aku menoleh ke belakang, aku tersenyum.
Gelap itu ternyata bukan kutukan.
Ia adalah guru yang baik, yang mengajarkanku bagaimana rasanya kehilangan arah agar aku bisa lebih menghargai cahaya ketika ia datang.
Gelap itu mengajariku arti ketabahan, arti menunggu, arti menerima diri sendiri yang paling rapuh sekalipun.
Dan ketika akhirnya terang datang lewat tangan-tangan sahabatku, aku tidak lagi menolak.
Aku menyambutnya dengan rasa syukur yang dalam, karena aku tahu, cahaya itu tidak datang untuk menggantikan gelap, tapi untuk berdamai dengannya.
Hidup ternyata bukan tentang menyingkirkan semua luka, tapi tentang menenun luka-luka itu menjadi bagian dari kisah.
Karena justru dari situlah keindahan manusia muncul, dari kemampuan untuk terus berjalan meski pernah remuk, dari keberanian untuk percaya lagi setelah kecewa.
Kini aku tahu, aku kuat bukan karena tak pernah jatuh, tapi karena selalu ada tangan yang menolongku bangkit.
Aku bahagia bukan karena semua sempurna, tapi karena aku tak lagi berjalan sendirian.
Sahabat-sahabatku,
kalian bukan sekadar pelita dalam malamku.
Kalian adalah alasan kenapa aku berani menatap fajar.
Terima kasih, karena telah membawa hidup kembali ke dalam tubuhku.
Terima kasih, karena telah mengajarkan bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk paling sederhana, dalam tawa, dalam diam, dalam cara kalian tetap ada bahkan saat aku tak mampu berkata apa-apa.
Kini aku berjalan lagi.
Masih dengan hati yang berhati-hati,
masih dengan langkah yang kadang ragu,
tapi kali ini dengan cahaya yang kubawa sendiri.
Cahaya yang kalian titipkan padaku.
Dalam hidup, kita sering berpikir bahwa kekuatan berarti bisa bertahan sendirian.
Padahal, kekuatan sejati justru ada pada keberanian untuk menerima uluran tangan orang lain.
Ada pada kesediaan untuk dicintai, sekalipun kita belum sepenuhnya utuh.
Dan jika suatu hari nanti kamu menemukan seseorang atau beberapa orang yang datang tanpa pamrih, membawa cahaya dalam bentuk tawa dan ketulusan, peluk mereka erat.
Sebab dalam dunia yang sering terasa gelap, merekalah yang membuatmu mengingat bagaimana rasanya hidup.
Yogyakarta, 25 Oktober 2025






0 komentar:
Posting Komentar