Selasa, 01 Juli 2025

Proses, Perjalanan, dan Perubahan: Sebuah Tafsir Diam dalam Kacamata Jiwa

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 09.56 with No comments



Roda dan jam dinding terus berputar. Tidak tergesa, tapi pasti. Seakan-akan mereka tahu, hidup bukanlah soal cepat atau lambat, melainkan soal tetap bergerak meski tak selalu tampak. Seperti detak jantung yang tak pernah memekakkan telinga, namun tanpanya segalanya akan berakhir.


Manusia pun demikian. Kita tumbuh, menua, mengalami, merasa, mencinta, terluka, dan sembuh. berulang-ulang. Di dalam diri kita, ada sekumpulan proses yang diam-diam bekerja, seperti metamorfosis seekor ulat yang tidak butuh tepuk tangan saat menjelma menjadi kupu-kupu. Sebab perubahan, pada hakikatnya, tidak selalu butuh sorak-sorai. Ia cukup diketahui oleh hati.


Tetapi mari kita akui bersama: segala yang bergerak, cepat atau lambat, akan letih. 

Dan lelah adalah hal paling manusiawi yang pernah kita punya.


Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menyembah produktivitas, kita diajari untuk terus berlari, terus berkarya, terus jadi “versi terbaik” dari diri sendiri. Tapi siapa yang menjelaskan bahwa menjadi lelah bukan berarti menjadi lemah? Bahwa berhenti sejenak bukan bentuk kegagalan, melainkan upacara pemulihan yang agung? 


Dalam keheningan malam atau pada hujan yang turun perlahan, kita mungkin menemukan diri kita rebah, bertanya-tanya: Untuk apa semua ini? Ke mana harusnya langkah ini dibawa? Dan pada saat itulah, barangkali, kita perlu belajar berhenti tanpa merasa bersalah.

Berhenti untuk mendengarkan kembali napas sendiri.

Mundur bukan untuk menyerah, melainkan untuk mengambil sudut pandang yang lebih jernih.

Menjauh bukan untuk melupakan, tapi untuk mengingat ulang. apa yang sesungguhnya penting.


Diam bukan kekalahan. Diam adalah bentuk cinta paling jujur kepada diri sendiri.

Ia adalah pelukan yang tidak tampak. Ia adalah ruang kosong yang penuh makna.


Lihatlah para penyair. mereka tak menulis saat dunia gaduh. Mereka menunggu sepi datang, menunggu kalimat lahir dari reruntuhan rasa yang diam-diam dipungut kembali. Lihatlah para pelukis, mereka tak menuang warna saat dikejar. Mereka duduk, memandangi kanvas, berdialog dengan sunyi, sebelum akhirnya sebuah goresan mewakili perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan lisan.


Maka, kenapa kita "yang juga manusia, yang punya jiwa dan luka" tak boleh diam?

Mengapa kita merasa berdosa saat tidak produktif? Padahal, kadang diam itu sendiri adalah produktivitas spiritual, sebuah laboratorium batin tempat segala rencana besar mengendap dan menyusun ulang bentuknya.


Sebab dalam diam, kita baru bisa mendengar suara terdalam yang selama ini tertutupi oleh tuntutan.

Dalam diam, kita baru bisa menyadari bahwa setiap perjalanan, betapapun kacau atau lambatnya telah membentuk kita jadi pribadi yang lebih dalam, lebih luas, dan lebih tangguh.


Dan dari diam yang hening itulah, akan lahir keberanian baru.

Keberanian untuk kembali berjalan, meski lambat.

Keberanian untuk berubah, meski tak semua orang mengerti arahmu.

Keberanian untuk bangkit, bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk memeluk diri sendiri dengan lebih utuh.


Proses, perjalanan, dan perubahan. tiga kata yang tampak sederhana tapi menyimpan ribuan kisah di dalamnya. Dan di antara ketiganya, diam adalah jembatan yang menuntun kita dari yang lama menuju yang baru.


Jadi, bila hari ini kamu merasa lelah, tak apa.

Tarik napas. Rebahlah. Menangislah bila perlu.

Sebab esok, ketika kamu bangkit dari diam yang panjang itu, kamu bukan lagi kamu yang kemarin.

Kamu adalah kamu yang sudah lebih tahu arah, lebih tahu rasa, dan lebih tahu makna.


Dan mungkin, di situlah kemajuan yang sebenarnya. 


Yogyakarta, 01 Juli 2025








0 komentar:

Posting Komentar