Mereka datang.
Seperti bayang senja yang beringsut di antara dinding dan jendela.
Mereka hadir tanpa janji akan tinggal,
hanya membawa serpihan manis dari sesuatu yang tak pernah utuh.
Bahagia, katanya.
Padahal itu hanya sementara,
sekadar rasa yang menumpang sebentar,
lalu diam-diam menghilang ketika malam mulai menanyakan siapa yang benar-benar tinggal.
Kita tersisa sendiri,
menyusuri sunyi yang mereka tinggalkan,
berjalan menyulam luka yang tak mereka lihat,
menata napas di antara serpih harapan yang remuk oleh sikap yang tak pernah konsisten.
Mereka tidak pernah tahu,
bagaimana kita tertatih menenangkan diri sendiri setiap kali selesai mereka temui.
Bagaimana senyum mereka menjadi cambuk yang menyiksa,
ketika akhirnya kita sadar:
mereka hanya mampir, tidak pernah berniat menetap.
Dan setelah sekian banyak luka yang berulang,
setelah kita mencoba menjadi bijak dari kehilangan yang terlalu sering,
kita belajar satu hal yang mungkin tak romantis, tapi sangat perlu:
bahwa menjauh bukan berarti membenci, melainkan menjaga diri dari luka yang sudah tahu ujungnya seperti apa.
Bahwa membatasi diri dari mereka
yang hanya datang membawa kebisingan,
lalu pergi meninggalkan hampa,
adalah sebuah keputusan yang pahit tapi menenangkan.
Bahwa menutup pintu pada mereka
yang hanya tahu cara membuka tanpa pernah tahu caranya tinggal,
adalah bentuk tertinggi dari keberanian.
Karena pada akhirnya,
yang menyembuhkan bukan pelukan,
bukan pesan tengah malam,
bukan tawa sesaat,
tapi keberanian untuk memilih sendiri,
menentukan siapa yang pantas diberi ruang.
Dan kau akan tahu:
sunyi kadang lebih setia daripada mereka yang terus-menerus melukai.
Kesendirian tak lagi menakutkan saat kau berdamai dengan kenyataan:
bahwa tak semua kehadiran patut dipertahankan,
dan tak semua yang kau sayangi layak kau kejar.
Kita tidak kehilangan mereka.
Kita justru menyelamatkan diri kita.
Yogyakarta, 2 Juli 2025

0 komentar:
Posting Komentar