Senin, 29 September 2025

Untuk Ai

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 14.52 with No comments

Ada ruang-ruang dalam diriku yang pernah lama terkunci. Ruang itu gelap, sunyi, penuh debu kenangan yang enggan kusentuh. Di sana tersimpan serpih-serpih luka, janji yang patah, dan perasaan yang pernah mati pelan-pelan tanpa sempat kukuburkan. Aku pernah berpikir mungkin begitulah takdirku, ada hati yang dibiarkan membeku tanpa kesempatan bersemi kembali. Namun suatu hari kamu hadir. Bukan dengan gemuruh, bukan pula dengan kilatan petir. Kamu datang seperti cahaya kecil yang menyelinap di antara celah jendela, sederhana, namun tiba-tiba aku menyadari betapa lama aku hidup dalam gelap. Kamu tidak merobohkan pintu, kamu hanya mengetuk perlahan. Kamu tidak memaksa, kamu sabar menunggu sampai aku sendiri yang membuka. Dan sejak saat itu, sesuatu yang kupikir telah mati kembali berdenyut.

Aku menemukan satu sisi dalam diriku, sisi yang dulu pudar kini kamu hidupkan kembali. Kamu memberinya warna, warna yang bukan sekadar indah, tetapi hangat dan menetap. Kamu melukis dinding hatiku yang retak dengan kuas kesabaran. Kamu isi kekosongan yang semula kuterima sebagai nasib dengan kehadiranmu yang penuh makna. Aku, yang semula ragu apakah cinta masih nyata, akhirnya percaya lagi. Meski kadang hati ini pun bertanya mungkinkah benar semua ini nyata, namun setiap kali kutatap wajahmu aku tahu tidak semua pertanyaan butuh jawaban kata-kata. Ada yang cukup dijawab oleh tenang tatapanmu, oleh senyum yang menenangkan, oleh genggaman yang tak ingin melepaskan. Kamu hadir di balik kokohnya tembok hatiku. Kamu runtuhkan kerasnya diriku tanpa kekerasan. Kamu tidak membawa palu melainkan kelembutan. Kamu tidak mendobrak tetapi mengalir seperti air yang sabar hingga batu yang kukira abadi pun luluh oleh ketulusanmu.

Sejak itu aku tahu satu hal: aku ingin menjagamu. Bukan hanya menjaga tubuhmu dari dingin atau langkahmu dari lelah. Lebih dari itu aku ingin menjaga hatimu agar tak merasa sendiri, menjaga jiwamu dari kesepian, menjaga tawamu tetap ada meski dunia kadang berat. Kan kujaga di luas hatiku. Kalimat itu bagiku bukan sekadar janji melainkan doa. Hatiku yang dulu sempit kini terasa luas sebab dirimu ada di dalamnya. Samudera di dadaku yang dulu kering kini tidak lagi hampa, ia terisi oleh riak-riak rindu, ombak syukur, dan arus kasih yang tak pernah berhenti mengalir. Menjaga berarti siap dengan segala musim. Siap menyambutmu di musim hujan dengan payung, siap menemanimu di musim panas dengan teduh. Menjaga berarti tidak hanya ada ketika kamu bahagia tetapi juga berdiri teguh ketika badai melanda.

Perasaan ini seperti samudera. Tak terkira dalamnya, entah sampai kapan luasnya, tak ada ujungnya. Barangkali hanya mati yang bisa memisahkan kita dari samudera ini. Namun bahkan setelah mati aku percaya ombak cintaku akan tetap mencari pantai bernama dirimu. Samudera ini bukan sekadar pemandangan biru di kejauhan. Ia penuh dengan kehidupan di kedalaman, ikan-ikan kecil berupa kenangan, karang-karang berupa doa, arus berupa kerinduan. Semua bergerak, semua bernyawa, semua menjadi saksi betapa besar cintaku padamu. Tak ada lagu cinta yang cukup untuk melukiskan agungnya rasa. Kata-kata manusia tak akan pernah mampu menampungnya. Namun biarlah tulisan ini menjadi setetes air dari samudera luas itu agar kamu tahu betapa dalam aku menyimpanmu.

Ada bagian dari diriku yang pernah lama sekarat. Bagian yang tak percaya lagi pada cinta, pada kesetiaan, pada keajaiban yang sederhana. Aku pernah merasa cinta hanyalah dongeng yang indah di bibir tetapi hampa di kenyataan. Namun sejak hari itu, sejak aku mengenalmu, aku merasa lagi. Perasaan yang telah lama mati kamu sanggup menghidupkan lagi. Kamu meniupkan napas pada bara yang hampir padam. Kamu menyalakan api kecil yang kini menjalar hangat ke seluruh tubuhku. Aku tidak pernah menyangka setelah semua patah dan runtuh masih ada ruang bagi cinta untuk tumbuh. Tetapi dirimu membuktikan bahwa luka bukanlah kuburan melainkan tanah basah tempat benih cinta baru bisa bersemi.

Kini aku menyebutmu bukan sekadar kekasih, bukan sekadar calon istri, tapi seseorang yang benar-benar hidup dalam doa dan rencana. Ada getar lain ketika lidahku menyebut keberadaanmu. Ada beban manis dalam setiap harapanku padamu. Aku tahu mencintaimu saja tidak cukup. Aku harus belajar menjaga, memahami, mengalah, dan tumbuh bersamamu. Menjadi pasanganmu bukanlah akhir melainkan awal dari perjalanan panjang. Dan aku ingin menempuh perjalanan itu bersamamu dengan segala lekuk, segala lelah, segala indahnya. Aku ingin kita bukan hanya sepasang kekasih yang larut dalam cinta tetapi juga sahabat yang bisa tertawa di tengah luka, teman seperjalanan yang bisa saling menopang ketika dunia terasa berat. Aku ingin rumah kita kelak bukan sekadar atap tapi pelukan yang menenangkan jiwa.

Aku percaya cinta sejati tidak hanya hidup di momen-momen besar. Ia justru berdiam dalam hal-hal kecil yang sering terlewat. Cinta hidup dalam segelas teh hangat yang kuseduh untukmu di pagi hari, dalam caramu menutup laptopku karena aku tertidur, dalam tatapanmu ketika aku pulang larut dan kamu tetap menunggu. Keabadian cinta bukanlah menolak perubahan melainkan memilih satu sama lain setiap hari meski dunia terus berubah. Dan aku ingin memilihmu lagi dan lagi bahkan dalam rutinitas yang paling sederhana. Mungkin kita tidak akan selalu tertawa. Akan ada tangis, ada debat, ada diam yang panjang. Tapi aku ingin kita selalu kembali, kembali ke pelukan, kembali ke doa, kembali pada janji sederhana bahwa kita tidak akan menyerah.

Kamu adalah cahaya yang kupikir tak akan pernah kutemukan lagi. Kamu adalah samudera yang membuatku belajar berenang kembali. Kamu adalah rumah yang tak pernah kusangka akan kubangun. Jika cinta adalah perjalanan maka izinkan aku berjalan bersamamu. Jika cinta adalah samudera maka izinkan aku menyelam bersamamu. Jika cinta adalah doa maka biarlah keberadaanmu selalu kusebut dalam sujud dan diamku. Mungkin hanya mati yang dapat memisahkan raga kita namun bahkan kematian pun tidak akan mampu memisahkan rasa syukurku karena pernah dalam hidupku Tuhan menitipkanmu sebagai anugerah. Dan aku berjanji sampai napas terakhir aku akan menjaga, mencintai, dan mensyukuri kehadiranmu. Karena kamu bukan hanya belahan jiwa. Kamu adalah kehidupan itu sendiri.

Jumat, 19 September 2025

TERIMAKASIH ALDILA

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 15.20 with No comments



Ada wajah-wajah yang hanya lewat sebentar dalam hidup kita, namun meninggalkan bekas sepanjang usia. Ada tawa-tawa yang barangkali hanya sekali terucap, tetapi gema kehangatannya tak pernah benar-benar lenyap. Dan ada sosok seorang sahabat yang pernah hadir dalam hidupku, bukan sekadar menjadi kawan berbagi cerita, melainkan juga penyejuk jiwa. Hingga hari ini, ketika aku menulis baris-baris ini, aku masih bisa merasakan sisa kehangatan yang pernah kau tinggalkan.

Mengenangmu sungguh di kalbuku. Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain itu. Keberadaanmu pernah menempati ruang yang tak bisa digantikan siapa pun, sebuah ruang yang diselimuti oleh syukur, harapan, sekaligus sedikit penyesalan. Senyummu, entah bagaimana, selalu punya kuasa untuk mendamaikan hatiku yang sering kali resah. Kau mungkin tidak pernah tahu, tapi dalam setiap tawamu ada ketenangan yang merembes masuk, pelan-pelan, seperti hujan yang membasuh tanah kering.

Aku selalu merasa tidak sebanding denganmu. Ada kegelisahan yang sulit kugambarkan, bahwa aku terlalu sering merisaukan hatimu, khawatir pada hal-hal kecil yang mungkin bahkan tak pernah mengganggumu. Aku ingin kau baik-baik saja, selalu. Dan justru dari situlah lahir rasa yang begitu halus yaitu sebuah keinginan untuk menjagamu, meski tak selalu bisa kupenuhi dengan perbuatan nyata.

Aku masih ingat jelas, perjumpaan pertama kita. Rasanya seperti mimpi yang terbeli. Ada keajaiban kecil yang sulit dijelaskan, bagaimana seseorang bisa hadir begitu tiba-tiba lalu dengan mudah masuk ke dalam hidup orang lain. Kau datang, namun sejak itu, segalanya tidak pernah sama lagi.

Aku mengenalmu bukan sekadar dari kata-kata atau pertemuan singkat, tetapi dari cara matamu berbicara, dari ketulusanmu yang jarang kutemui di dunia yang kian tak adil ini. Kamu seperti udara yang tak terlihat, tapi begitu terasa keberadaannya. Kamu seperti energi yang menyalakan semangat bahkan di saat aku hampir padam.

Jika aku mencoba menyusun kata-kata untuk menjelaskan rasa itu, semuanya terdengar sederhana. Namun yang kurasakan saat itu jauh melampaui kata. Kau hadir, dan sejak itu aku tahu bahwa sebagian dari diriku tidak akan pernah sama lagi.

Kita pernah melalui banyak hal, bukan? Ada derita, ada bahagia. Kita melewatinya bersama-sama, dengan cara yang barangkali hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang pernah terhubung begitu erat. Kita belajar menertawakan kepahitan, sekaligus menangisi kebahagiaan yang terlalu indah untuk cepat hilang.

Aku ingat percakapan panjang kita, tentang dunia, tentang mimpi, bahkan tentang ketakutan yang tak pernah kita bagi pada siapa pun. Aku ingat bagaimana kita bisa saling menguatkan dalam sepi. Aku ingat bagaimana sekadar keberadaanmu sudah cukup untuk membuat hidup terasa lebih ringan.

Sungguh, kalau bukan karena kehadiranmu waktu itu, aku tak tahu apakah aku bisa melewati masa-masa yang begitu berat. Kau seperti belahan jiwa, meski bukan dalam arti yang sering dibicarakan orang-orang tentang cinta. Kau adalah bagian yang hilang dari diriku yang ternyata bisa ditemukan dalam bentuk persahabatan.

Pernah aku mencoba menuliskan rasa ini dalam bentuk puisi, lagu, bahkan doa. Tapi sungguh, tidak ada cukup kata atau bait yang mampu melukiskan betapa agungnya rasa syukurku atas kehadiranmu.

Seberapa pun banyaknya lagu cinta yang diciptakan, tak satu pun bisa sepenuhnya menggambarkan apa yang kurasakan tentangmu. Karena hubungan kita bukan sekadar kisah biasa. Ia adalah anugerah yang menembus batas bahasa. Ia adalah kenangan yang lebih menyerupai doa daripada cerita.

Syukurku atas kehadiranmu, penuh cinta dan kasih. Tidak berlebihan jika kukatakan bahwa aku adalah orang yang lebih baik karena pernah mengenalmu. Engkau membuatku memahami arti menjaga, arti memberi tanpa mengharap balasan, arti mencintai tanpa harus memiliki.

Hari-hari itu telah lewat. Kau dan aku kini berjalan di jalan yang berbeda. Waktu, keadaan, dan takdir membawa kita ke arah yang tak lagi sama. Ada jarak yang tak terelakkan, ada kesibukan yang tak bisa dihindari, dan ada kehidupan yang harus terus kita jalani masing-masing.

Namun, apakah itu berarti kehadiranmu hilang begitu saja? Tidak. Sama sekali tidak. Hingga kini, jejakmu masih tertinggal. Dalam doa, dalam ingatan, bahkan dalam cara aku memandang hidup.

Ada luka kecil di sana, tentu saja. Luka karena kehilangan keseruan yang dulu begitu nyata. Luka karena tidak bisa lagi mendengar tawamu setiap hari. Luka karena sadar bahwa tidak semua yang indah bisa bertahan selamanya. Tapi luka itu pun kubiarkan menjadi bagian dari syukur. Sebab tanpa luka itu, aku tidak akan tahu betapa berharganya kehadiranmu.

Jika kau membaca tulisan ini, aku ingin kau tahu bahwa tidak ada penyesalan dalam mengenalmu. Yang ada hanyalah rasa terima kasih yang tidak pernah cukup kuucapkan.

Kau mungkin tidak sadar betapa berharganya peranmu dalam hidupku. Kau mungkin menganggap semua itu biasa saja. Tapi bagiku, itu adalah anugerah. Kau membuatku percaya bahwa persahabatan bisa sedekat doa, bisa sekuat cinta, dan bisa setulus kasih.

Aku berdoa semoga hidupmu kini selalu dipenuhi cahaya. Semoga apa pun yang kau lakukan membawa damai di hatimu. Semoga kau selalu dikelilingi orang-orang yang menjaga dan menyayangimu, sebagaimana dulu aku ingin menjagamu.

Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita lagi, aku hanya ingin bisa tersenyum dan berkata terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidupku.

Dari semua ini aku belajar, bahwa tidak semua orang hadir untuk tinggal selamanya. Ada yang hanya singgah sebentar, lalu pergi, tetapi meninggalkan bekas yang tak mungkin hilang. Dan kau Dila, kamu adalah salah satunya.

Kehadiranmu mengajarkanku untuk lebih menghargai setiap momen, setiap tawa, setiap percakapan. Pergimu mengajarkanku untuk berdamai dengan kehilangan, untuk menerima bahwa tidak semua yang kita genggam bisa kita pertahankan.

Namun, justru karena itu, aku semakin bersyukur. Bersyukur karena sempat mengenalmu. Bersyukur karena sempat merasakan hangatnya persahabatan yang tulus. Bersyukur karena kau pernah ada, meski kini hanya bisa kukenang.

Kini, setiap kali aku mengenangmu, aku tidak lagi merasakan perih yang terlalu tajam. Yang ada hanyalah melankolia yang lembut, seperti senja yang pelan-pelan tenggelam. Aku belajar untuk menerima bahwa sebagian kisah memang hanya ditulis di masa lalu, tanpa harus dilanjutkan di masa kini.

Namun percayalah, sahabatku, engkau tidak pernah benar-benar hilang. Kau tetap ada, dalam kalbu yang selalu mengenangmu dengan rasa damai. Kau tetap ada, dalam syukur yang kupanjatkan pada Tuhan. Kau tetap ada, dalam doa-doa yang tak pernah berhenti mengharapkan kebahagiaanmu.

Tidak ada lagu cinta yang cukup untuk melukiskan rasa ini, begitu pun tidak ada tulisan yang cukup panjang untuk menampung seluruh syukurku. Tapi biarlah artikel ini menjadi secuil persembahan dariku. Tentang sebuah surat hati yang melankolis untukmu, sahabat yang pernah hadir, yang kini hidup sebagai kenangan, dan yang akan selalu abadi dalam jiwa.


Yogyakarta, 19 September 2025