PROLOG
Sebuah kota yang penuh sesak dengan kesibukan
masing-masing individunya, membuat lingkungan benar-benar kumuh dan tidak
terawat. Namun, di ujung jalan pinggir kota terdapat sebuah musala kecil yang
terlihat sangat rapi dan indah jika dipandang. Di sana lah terdengar seruan dari
sang pencipta untuk umat agar segera melaksanakan salatnya.
Gema Azan berbunyi dari ujung jalan itu hingga ke
sebuah perusahaan stasiun televisi di kota tersebut. Dikala para pegawai masih
sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, seorang asisten produser bernama
Fatimah memilih untuk meninggalkan meja kerjanya.
Gadis itu berjalan menuju musala, dengan sedikit
melompat-lompat menghindari genangan air di jalan setelah hujan mendera kota
tersebut. Fatimah adalah karyawan baru di perusahaan tersebut, sebulan yang
lalu tepatnya.
Di saat Fatimah sedang menjalankan salat asharnya,
seorang wanita paruh baya datang ke ruang produksi.
“Ke mana Fatimah?” tanya Sisca sang produser.
“Anu Bu, sedang salat,” jawab Budi yang bekerja
sebagai tim kreatif.
“Setelah dia pulang, suruh temui saya!”
“Baik Bu.”
1.
DEMI WAKTU ASHAR
Apa yang menjadikan manusia senantiasa lalai atas
perintah tuhannya. Sekuat apa kita tanpa DIA? Hei, sudah merasa diri paling
hebat kah kita? Kau tahu, dunia ini fana
kawan. Dikeabadian kelak, semua yang kita lakukan di dunia ini akan
dipertanggungjawabkan.
Fatimah menadahkan kedua tangannya. Kemudian, terucap
kata memohon ampun dan meminta agar setiap langkahnya selalu berada dalam
keridhaan-Nya. Ia selalu percaya jika setiap dirinya berdoa, maka malaikat pun
ikut berdoa hingga doa yang dipanjatkan melesat dan menjangkau Arasy di mana
tempat Allah swt berada.
“Aaamiiin,” sebuah kata memohon agar doa dikabulkan
terucap dari mulut gadis itu.
Dengan langkah perlahan, Fatimah pergi meninggalkan
musala tersebut. Bau-bau tanah yang terkena hujan pun mendera hidungnya. Aroma
alami yang terjadi oleh proses yang luar biasa. Seolah tuhan menjawab doanya,
setiap langkahnya terasa sangat ringan tidak ada beban hingga ke kantornya.
Suara keyboard komputer berpacu dengan jari terdengar
di meja kerja Fatimah, seorang lelaki muda datang menghampirinya.
“Permisi Mba Fat, tadi ibu Sisca menyuruh Mba untuk
menemui beliau ke ruang kerjanya,” ucap Budi.
“Baik, terima kasih Budi.”
Fatimah pergi dan mengetuk pintu ruangan Sisca,
“Masuk,” ucap wanita paruh baya itu.
“Selamat sore, Bu,” ia melanjutkan, “Ada apa Ibu
mencari saya?”
“Kamu ikut saya setelah ini buat handle tayangan gosip
sore live, Citra yang akan gantikan tugas kamu untuk editing dan raughcut untuk
siaran berita pagi.”
Hati Fatimah bak tersambar petir di siang bolong.
“Acara gosip?” batinnya bertanya-tanya.
“Maaf Bu, tapi bisakah saya tukar jobdesk dengan
Citra?” ucap gadis itu memohon.
“Kenapa? Apa karena ini acara gosip?” tanya Sisca.
“Maaf Bu, namun salah satu alasannya adalah itu.
Kemudian, saya juga lebih cocok untuk handle siaran berita.”
“Yang menentukan cocok tidaknya kamu adalah saya!”
Sisca menjawab dengan nada meninggi.
Fatimah menunduk tidak tahu lagi harus berbuat apa.
“Ada beberapa catatan kesalahan kamu dan itu semua
paling banyak terjadi di waktu sore. Kamu sering menghilang dengan alasan
sedang melaksanakan salat.” Amarah Sisca tak dapat lagi terbendung.
“Tapi saya benar-benar salat ashar, Bu. Saat sore
memang semua pekerjaan saya sudah selesai dan salat itu bukanlah sebuah alasan
bagi saya. Itu kewajiban,” jawab Fatimah dengan nada bicara yang ikut meninggi.
“Baik, baru kali ini saya dibentak oleh karyawan baru
hanya karena hal sepele sepert ini.”
“Hal sepele? Ibu menyuruh saya untuk ikut handle
siaran gosip sore, itu hal sepele?”
Keduanya sama-sama
saling menatap antara satu dan yang lainnya. Nafas mereka memburu. Fatimah
telah lupa dengan siapa dia berhadapan, dan Sisca? Dia pun sudah kadung emosi
dan tak dapat mengendalikannya.
“Tutup pintu itu dari
luar dan jangan pernah lagi kembali ke sini!” Kini amarah Sisca sudah sampai
pada puncaknya.
Mata Fatimah seketika
terbelalak usai mendengar kalimat itu. Hatinya seperti tercabik. Perasaannya
terenyak seperti jatuh dari ketinggian. Jiwanya meronta-ronta hingga dia
menghinakan diri memohon dikasihani.
Namun, Sisca sudah
terlanjur kalap dan tutup mata akan semua yang terjadi. Apapun yang diucapkan
oleh gadis itu sudah tidak berarti lagi baginya. Kini, Sisca hanya memalingkan
wajahnya, seolah menolak sebuah permohonan dari Fatimah.
Dengan langkah gontai,
Fatimah keluar dari ruangan Sisca. Otaknya dipenuhi dengan rasa penyesalan dan
timbul ribuan tanya dalam hatinya. Begitu kejamkah kehidupan ini? Hanya karena
dirinya ingin melaksanakan sesuatu yang baik, dirinya harus menerima kenyataan
bahwa dia telah kehilangan pekerjaannya.
Batinnya yang
terguncang sudah tak lagi mampu menopang pikirannya yang kalang-kabut. Tidak
ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengemasi barang-barangnya. Budi yang
melihat kejadian itu pun tak mampu berkata-kata. Dia hanya terdiam dan
menyaksikan ketidakadilan akan dunia.