Selasa, 01 September 2020

Selepas Ashar 1

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.22 with No comments

 

PROLOG

Sebuah kota yang penuh sesak dengan kesibukan masing-masing individunya, membuat lingkungan benar-benar kumuh dan tidak terawat. Namun, di ujung jalan pinggir kota terdapat sebuah musala kecil yang terlihat sangat rapi dan indah jika dipandang. Di sana lah terdengar seruan dari sang pencipta untuk umat agar segera melaksanakan salatnya.

Gema Azan berbunyi dari ujung jalan itu hingga ke sebuah perusahaan stasiun televisi di kota tersebut. Dikala para pegawai masih sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, seorang asisten produser bernama Fatimah memilih untuk meninggalkan meja kerjanya.

Gadis itu berjalan menuju musala, dengan sedikit melompat-lompat menghindari genangan air di jalan setelah hujan mendera kota tersebut. Fatimah adalah karyawan baru di perusahaan tersebut, sebulan yang lalu tepatnya.

Di saat Fatimah sedang menjalankan salat asharnya, seorang wanita paruh baya datang ke ruang produksi.

“Ke mana Fatimah?” tanya Sisca sang produser.

“Anu Bu, sedang salat,” jawab Budi yang bekerja sebagai tim kreatif.

“Setelah dia pulang, suruh temui saya!”

“Baik Bu.”


1.

DEMI WAKTU ASHAR

 

Apa yang menjadikan manusia senantiasa lalai atas perintah tuhannya. Sekuat apa kita tanpa DIA? Hei, sudah merasa diri paling hebat kah kita?  Kau tahu, dunia ini fana kawan. Dikeabadian kelak, semua yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan.

 

Fatimah menadahkan kedua tangannya. Kemudian, terucap kata memohon ampun dan meminta agar setiap langkahnya selalu berada dalam keridhaan-Nya. Ia selalu percaya jika setiap dirinya berdoa, maka malaikat pun ikut berdoa hingga doa yang dipanjatkan melesat dan menjangkau Arasy di mana tempat Allah swt berada.

 

“Aaamiiin,” sebuah kata memohon agar doa dikabulkan terucap dari mulut gadis itu.

 

Dengan langkah perlahan, Fatimah pergi meninggalkan musala tersebut. Bau-bau tanah yang terkena hujan pun mendera hidungnya. Aroma alami yang terjadi oleh proses yang luar biasa. Seolah tuhan menjawab doanya, setiap langkahnya terasa sangat ringan tidak ada beban hingga ke kantornya.

 

Suara keyboard komputer berpacu dengan jari terdengar di meja kerja Fatimah, seorang lelaki muda datang menghampirinya.

“Permisi Mba Fat, tadi ibu Sisca menyuruh Mba untuk menemui beliau ke ruang kerjanya,” ucap Budi.

“Baik, terima kasih Budi.”

Fatimah pergi dan mengetuk pintu ruangan Sisca, “Masuk,” ucap wanita paruh baya itu.

“Selamat sore, Bu,” ia melanjutkan, “Ada apa Ibu mencari saya?”

“Kamu ikut saya setelah ini buat handle tayangan gosip sore live, Citra yang akan gantikan tugas kamu untuk editing dan raughcut untuk siaran berita pagi.”

Hati Fatimah bak tersambar petir di siang bolong. “Acara gosip?” batinnya bertanya-tanya.

“Maaf Bu, tapi bisakah saya tukar jobdesk dengan Citra?” ucap gadis itu memohon.

“Kenapa? Apa karena ini acara gosip?” tanya Sisca.

“Maaf Bu, namun salah satu alasannya adalah itu. Kemudian, saya juga lebih cocok untuk handle siaran berita.”

“Yang menentukan cocok tidaknya kamu adalah saya!” Sisca menjawab dengan nada meninggi.

 

 

Fatimah menunduk tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Ada beberapa catatan kesalahan kamu dan itu semua paling banyak terjadi di waktu sore. Kamu sering menghilang dengan alasan sedang melaksanakan salat.” Amarah Sisca tak dapat lagi terbendung.

 

“Tapi saya benar-benar salat ashar, Bu. Saat sore memang semua pekerjaan saya sudah selesai dan salat itu bukanlah sebuah alasan bagi saya. Itu kewajiban,” jawab Fatimah dengan nada bicara yang ikut meninggi.

 

“Baik, baru kali ini saya dibentak oleh karyawan baru hanya karena hal sepele sepert ini.”

 

“Hal sepele? Ibu menyuruh saya untuk ikut handle siaran gosip sore, itu hal sepele?”

           

            Keduanya sama-sama saling menatap antara satu dan yang lainnya. Nafas mereka memburu. Fatimah telah lupa dengan siapa dia berhadapan, dan Sisca? Dia pun sudah kadung emosi dan tak dapat mengendalikannya.

            “Tutup pintu itu dari luar dan jangan pernah lagi kembali ke sini!” Kini amarah Sisca sudah sampai pada puncaknya.

 

            Mata Fatimah seketika terbelalak usai mendengar kalimat itu. Hatinya seperti tercabik. Perasaannya terenyak seperti jatuh dari ketinggian. Jiwanya meronta-ronta hingga dia menghinakan diri memohon dikasihani.

 

            Namun, Sisca sudah terlanjur kalap dan tutup mata akan semua yang terjadi. Apapun yang diucapkan oleh gadis itu sudah tidak berarti lagi baginya. Kini, Sisca hanya memalingkan wajahnya, seolah menolak sebuah permohonan dari Fatimah.

 

            Dengan langkah gontai, Fatimah keluar dari ruangan Sisca. Otaknya dipenuhi dengan rasa penyesalan dan timbul ribuan tanya dalam hatinya. Begitu kejamkah kehidupan ini? Hanya karena dirinya ingin melaksanakan sesuatu yang baik, dirinya harus menerima kenyataan bahwa dia telah kehilangan pekerjaannya.

 

            Batinnya yang terguncang sudah tak lagi mampu menopang pikirannya yang kalang-kabut. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengemasi barang-barangnya. Budi yang melihat kejadian itu pun tak mampu berkata-kata. Dia hanya terdiam dan menyaksikan ketidakadilan akan dunia.




0 komentar:

Posting Komentar