Posted By : Amanat Dirgantara
2.
SULIT
Budi mengemudikan
mobilnya, mengantar gadis yang sedang rapuh itu menuju rumahnya. Fatimah dengan
pandangan kosong terus meneteskan air mata. Ia tak menghiraukan apa yang sedari
tadi Budi katakan.
“Mba, sudah dong. Itu
muka sudah kucel banget,” ucap Budi.
Tiba-tiba Fatimah
menoleh ke arah lelaki yang duduk di kursi pengemudi tersebut. “Bud, turunkan
saya di sini saja. Kamu ada siaran kan sebentar lagi. Jangan sampai kamu
bernasib sama seperti saya.”
“Tapi aku tidak bisa
meninggalkan Mba dengan semua barang ini begitu saja.”
“Saya akan cari taxi
atau … gampanglah!” ucap Fatimah sedikit meninggi.
“Jangan galak-galak
Mba, saya kan cuman ingin membantu.”
Fatimah pun terdiam dan
menurut saja dengan keinginan Budi. Tak lama setelah itu, mobil yang mereka
tumpangi tiba di depan rumah Fatimah. Budi bermaksud membawakan
barang-barangnya, namun ditahan oleh Fatimah.
“Enggak usah Bud, saya
kuat bawa ini. Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai sini, sekarang kamu
harus cepat kembali ke kantor.”
Ketika kesedihan
melanda manusia, perasaan itu memang Allah ciptakan agar kita sadar. Sadar bahwa
masa depan yang cerah ada di tangan Allah. Berbahagialah, jangan biarkan
kesedihan itu membuat dirimu hancur.
Gadis itu mencoba
menekan kesedihannya dengan sekuat tenaga. Di waktu magribnya, dia keluhkan
semua masalahnya kepada yang kuasa. Tangisannya terdengar hingga keluar kamar.
Mendengar tangisan itu,
ibunya segera masuk ke kamar anak perempuannya tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Fatimah melihat ibunya menghampiri dirinya, langsung ia peluk tubuh yang mulai
menua itu.
“Anak Ummah, kalau mengadu sama Allah pasti ada
sesuatu yang enggak bisa diomongkan ke Ummah,” ucap sang ibu.
“Ummah,
Fat..ti..mah minta ma..af,” jawabnya terbata berbarengan dengan tangisan.
“Ruang maaf Ummah
selalu terbuka lebar, bahkan lebih lebar dari alam semesta ini Fat.”
Ibunya membelai lembut
pipi tirus itu, menghapus air matanya. Berusaha untuk menenangkan hati sang
anak yang sudah beranjak dewasa.
Fatimah terus memeluk
ibunya, tidak ingin ia lepaskan walau hanya sedetik. Sang ibu pun dengan sabar
menunggu anaknya tenang terlebih dahulu, sesaat setelah tangisan itu berhenti
Fatimah menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Ummah, Fat dipecat,”
ucapnya.
“Setiap pemecatan pasti
ada alasannya, memang apa yang kamu lakukan, Nak?” tanya sang ibu mencari
sebuah kejelasan.
“Fat hanya menjalankan
apa yang Abah katakan.” Wajahnya mendongak ke atas, menatap wajah ibunda yang
sedari tadi tersenyum namun mengeluarkan air mata.
“Ammar ma’ruf nahi
munkar. Abah selalu berkata seperti itu, bahkan kepada Ummah. Memang ada
kemungkaran apa di kantor sehingga kamu menjauhinya?” tanya sang ibu.
“Fatimah hanya
menjalankan ibadah, di mana itu adalah kewajiban bagi Fat tapi bu Sisca tidak
menganggap seperti itu. Ia menyebut itu hanya hal sepele. Kemudian, Fat menolak
bekerja untuk siaran acara gosip hingga akhirnya Fatimah dipecat.”
“Jika yang kamu lakukan
benar, lantas kenapa Fat menangisi apa yang terjadi?”
Dia hanya terdiam mendengar pertanyaan ibunya, sebuah
pertanyaan yang logis memang. Tapi, dirinya tetap merasa bersalah dan menyesali
apa yang terjadi.
“Fat merasa dunia ini
terlalu kejam, Ummah. kebenaran yang Fat lakukan belum tentu benar di mata
orang lain.”
“Itu yang dinamakan
sudut pandang,” sembari mengambil sebuah buku. Ibunya memperlihatkan kepada
Fatimah.
“Apa yang kamu lihat, Fat?” Dia memperhatikan sekilas
apa yang ia lihat.
“Buku,” jawab Fatimah
jelas.
“Coba lebih detail
lagi,” ucap ibunya.
“Cover buku, ada gambar
pesawatnya. Kemudian, ada awannya,” jawabnya.
“Kalau begitu,
pandanganmu berbeda dengan Ummah. Ummah hanya melihat sebaris putih, di mana
itu hanyalah lembaran kertas. Itulah yang dinamakan sudut pandang. Fat
melihatnya dari depan, maka yang terlihat adalah cover sedangkan Ummah hanya
melihat bagian sampingnya saja. Sehingga yang terlihat hanyalah tumpukan
lembaran kertas,” jelas sang ibu.
Fatimah mengangguk
paham. Semua orang memiliki pendapatnya masing-masing tergantung dari sisi mana
dia melihat kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupannya.
“Rezeki itu sudah Allah
atur untuk kita Fat, bersabarlah, dan Ummah akan selalu mendukungmu.”
“Terima kasih Ummah,”
ucap Fatimah.
Ummah menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Ya
sudah, Ummah mau siap-siap salat isya dulu. Pikirkan apa yang harus kamu
lakukan setelah ini.”
Suara azan terdengar, Fatimah
sesegera mungkin bersiap-siap untuk menuju ke masjid di dekat rumahnya agar
bisa melaksanakan salat berjamaah.
Setelah ia melaksanakan
salat berjamaah, dia lanjutkan dengan zikir kemudian menadahkan kedua
tangannya.
“Ya Allah, aku
adalah seorang hamba. Hamba yang memohon pertolongan-Mu, berikanlah petunjuk
dan ridhailah setiap langkahku.”
Seperti biasa, dia
selalu percaya bahwa malaikat akan mengaminkan doanya. Dia pun percaya untaian
doa itu melingkar dan terpanjat menembus langit malam, di antara
bintang-bintang yang bertebaran.
Gadis itu pulang ke
rumah dengan hati yang sudah mulai tenang. Bebannya seakan diangkat oleh sang
maha kuasa, yang dia rasakan hanya perasaan nikmat yang entah dari mana
datangnya.
Malam itu, di ruang
makan, Fatimah dan sang ibu bercengkrama berdua.
“Ummah ada teman yang
bekerja di perusahaan tekstil dan pakaian. Kalau Fat mau, nanti Ummah coba
hubungi teman Ummah.” Sang ibu membuka percakapan.
“Tak perlu Ummah, nanti
Fat cari pekerjaan sendiri. Insya Allah Fat masih bisa cari sendiri,” jawabnya.
Setelah makan malam,
Fatimah beranjak menuju kamarnya, mempersiapkan diri untuk tidur. Dia mengambil
sebuah kain yang terlipat di atas bantalnya. Lalu, dengan kain itu ia mengibas
tempat tidurnya seperti yang dianjurkan Rasulullah. Setelah itu, Fatimah
berbaring di atas kasurnya. Mata perempuan itu tiba-tiba terfokus pada
foto-foto yang terpajang di dinding kamar. Foto saat dia masih bekerja. Air
matanya pun kembali jatuh mengenang masa lalunya. Kemudian, tanpa tersadar gadis
itu akhirnya tertidur.
Dalam tidurnya, Fatimah
memasuki alam bawah sadarnya. Dirinya bermimpi sedang bersujud di atas tanah
namun sangat dekat dengan langit. Dari kejauhan horizon cakrawala, terlihat
gunung Merapi dengan gagahnya berdiri.
Ketika ia sedang
menikmati pemandangan Merapi, dirinya merasakan ada yang menepuk pundaknya.
Namun, saat ia menoleh, tidak ada orang di sana. Hanya terdapat sebuah tulisan
di pasir, “Aku menunggumu.”
Fatimah terbangun dari
tidurnya, terdengar suara azan subuh menggema. Seperti biasa, dia membersihkan
diri dan bersiap untuk salat subuhnya.
Seusai dia melaksanakan
salat dan berdoa, dia beranjak dari kamarnya lalu menuju ruang kerja almarhum
ayahnya. Mimpinya yang tadi membuatnya teringat masa-masa ketika ia masih aktif
mendaki gunung. Kegiatan yang sudah lama memang dia tinggalkan.
Terakhir kali dia
mendaki adalah ketika berhasil menaklukan Ciremai di Jawa Barat sekitar satu
tahun yang silam. Dia duduk di meja kerja ayahnya, seolah meminta izin kepada
sang ayah untuk mendaki lagi.
Fatimah mengemasi
barang-barangnya untuk beberapa hari ke depan. “Baju, SB, matras, tenda, kaos
kaki, sendal, senter, kompor, gas, alat makan, jas hujan, pisau, korek,” ia
mengabsen satu per satu perlengkapan mendaki gunungnya.
Dikala sarapan pagi, ia
sedang berbincang dengan ibunya yang memang juga ikut sarapan dengannya.
“Buburnya mau tambah?” tanya ibunya.
“Cukup Ummah,” jawabnya.
“Oh iya Ummah, Fat mau izin beberapa hari.
Hitung-hitung mau menenangkan diri, lelah melihat kekumuhan di sini,”
lanjutnya.
“Mau ke mana?” tanya sang ibu, sebenarnya beliau sudah
tahu maksud dari Fatimah. Hanya saja ia ingin tahu gunung mana yang akan
dituju.
“Merbabu, Ummah,” jawabnya singkat.
Sebenarnya sang ibu sangat takut dan ingin tidak
mengizinkannya. Namun, jika dilihat dari keadaan kemarin, mungkin ini akan
menjadi salah satu terapi bagi Fatimah yang sedang rapuh.
Ibunya kemudian pergi dari meja makan, menuju kamar
kemudian kembali ke meja makan.
“Pakailah ini,” sang ibu memberikan syal.
“Fatimah sudah punya ini Ummah,” ucapnya.
“Syal ini diberikan oleh Abah kepada Ummah, saat Ummah
kedinginan di puncak Merbabu.”
Fatimah terkejut mendengar itu, dia tidak mengetahui
bahwa ibu dan ayahnya pernah mendaki gunung
tersebut.
“Ummah pernah ke Merbabu?” tanya Fatimah keheranan.
“Akan Ummah ceritakan saat kau sudah pulang. Kembalilah
dengan selamat Fat.”
Mendengar ucapan itu, Fatimah semakin yakin untuk
mendaki lagi. Terkadang dia harus memohon-mohon terlebih dahulu agar diizinkan.
Semasa Fatimah aktif menjadi seorang pendaki, dia
berhasil menaklukan beberapa gunung. Diantaranya adalah gunung Kerinci di
Sumatera, Semeru di Jawa Timur, Gunung Slamet dan Sindoro-Sumbing di Jawa
Tengah.
Dengan persiapan yang sudah matang, Fatimah bersiap
untuk berangkat. Namun, melihat jam sudah menunjukan pukul tiga sore, Fatimah
memutuskan untuk melaksanakan salat ashar terlebih dahulu.
“Ya Allah, berikanlah keselamatan untukku. Di
pendakian kali ini, aku lakukan untuk lebih dekat denganmu. Dalam setiap helaan
napasku, kulantunkan zikir untukmu, lindungilah perjalananku.”
Selepas ashar, Fatimah yang sudah siap akhirnya
berpamitan dengan sang ibu.
“Fat berangkat dulu Ummah, doakan keselamatan Fat.”
“Hati-hati Fat, jangan lupa Ammar Ma’ruf Nahi
Mungkar,” ucap sang ibu.
“Baik Ummah, Assalamualaikum,” jawab Fatimah sambil
mencium tangan ibunya.
“Waalaikumussalam.”
Suara hiruk-pikuk keramaian terminal adalah sebuah hal
yang biasa di Cicaheum, Bandung. Bus yang membawa mereka akan berangkat kurang
lebih pukul setengah lima sore.
Fatimah melangkahkan kakinya, bertemu dengan seorang
kernet.
“Permisi, masih ada kursi Pak di dalam?” tanya gadis
itu.
“Aya Neng, badé kamana atuh?” jawab sang kernet.
“Gimana Pak?” tanya Fatimah bingung. Walaupun dia
sudah tinggal di Bandung cukup lama, namun ia belum bisa juga mengerti bahasa
Sunda.
“Kursinya ada, mau ke mana?” jelas kernet itu.
“Oooh, mau ke Magelang Pak,” jawabnya sambil
tersenyum.
“Bisa, bisa. Masuk aja Neng, bayarnya di dalam aja
nanti.”
Tas keril yang sedari tadi Fatimah kenakan akhirnya
dapat dilepas juga. Kemudian ditaruh ke bagasi bus, gadis itupun naik kemudian
duduk di samping jendela. Tak lama setelah dia naik, seorang perempuan yang
seumuran dengannya duduk disampingnya.
“Assalamualaikum,” ucap perempuan itu.
“Waalaikumussalam,” jawab Fatimah.
“Boleh saya duduk disampingmu?”
Fatimah membereskan tas kecilnya yang dia taruh di
kursi sampingnya.
“Humaira,” ucap perempuan itu sambil mengulurkan
tangannya.
“Fatimah,” balas Fatimah sambil menggapai uluran
tangan dari Humaira.
Perkenalan yang singkat, hanya itu saja yang terjadi
pada perbincangan mereka kala itu. Humaira langsung menutup telinganya dengan
headphone dan kemudian tertidur.
Bus berangkat dari Cicaheum menuju tempat yang ingin
dituju oleh para penumpang. Perjalanan Fatimah cukup memakan waktu, bisa
diperkirakan tujuh hingga delapan jam.
Demi membunuh waktu, dia habiskan dengan membaca
sebuah buku. Buku sirah sahabat nabi yang dia ambil dari ruang kerja ayahnya.
Kebetulan malam itu dia sedang membaca kisah Zubair bin Awwam, seorang panglima
perang yang berani melawan puluhan ribu pasukan lawan sendirian.
Kisah itu kebetulan mirip sekali dengan yang dialami
oleh Fatimah. Di mana saat itu dia harus melawan rasa takutnya mendaki gunung
sendirian. Dia memilih solo hiking karena rekan-rekannya sedang bekerja dan
tidak memiliki waktu luang. Ditambah lagi perasaan Fatimah yang tidak karuan,
mengharuskan dia sesegera mungkin menghilangkan perasaan itu.
Pukul setengah satu dini hari, bus berhenti di Magelang
seraya menyuruh para penumpang untuk beristirahat. Fatimah yang sedari tadi
kelaparan akhirnya beranjak pergi dari bus karena memang dia sudah sampai ke
tujuan.
“Fat, aku ikut,” ucap Humaira yang terbangun dari
tidurnya.
“Turun di Magelang juga?” tanya Fatimah.
“Iya, aku mau ke Suwanting,” jawabnya.
“Kebetulan
sekali. Aku juga ke Merbabu melalui jalur itu, kamu mendaki juga?”
“Tidak Fat, aku hanya mendokumentasikan kegiatan para
pendaki saat di basecamp Suwanting.”
“Beruntung sekali aku, paling tidak ada teman hingga
sampai ke basecamp.” Padahal rencananya malam itu Fatimah ingin bermalam dulu
di terminal hingga subuh. Namun, karena Humaira memiliki tujuan yang sama, dia
urungkan niat itu dan berencana untuk langsung menuju basecamp malam itu juga.
“Kita makan dulu saja, aku tahu tempat yang jual gudeg
magelang paling enak di sini,” ucap Humaira.
Kedua perempuan itu berjalan meninggalkan terminal,
cukup jauh hingga sampai pada suatu rumah makan. Walaupun sudah hampir pukul
setengah dua, tempat itu tetap ramai didatangi oleh pelanggan.
Humaira tidak menyia-nyiakan moment ini, dia keluarkan
kamera DSLR nya untuk mengambil gambar dan take video. Terlihat Fatimah
canggung sekali saat kamera mengarah padanya, dia berlari masuk ke dalam rumah
makan itu.
“Permisi Bu, pesan es teh manisnya dua,” ucap Fatimah
tergesa-gesa.
“Eh bentar, kok es teh?” sanggah Humaira.
“Maaf Bu, teh hangat maksudnya.” Fatimah memperbaiki
pesanan.
“Oke Mba,” ucap ibu-ibu penjual gudeg itu.
Dengan tubuh kurus dan baju lusuhnya, ibu itu
membawakan gudeg dan teh hangat kepada mereka berdua. Tangannya gemetar saat
mengangkat gelas itu.
Fatimah
dan Humaira tak sanggup untuk menyaksikan itu, akhirnya dengan senang hati
mereka membawa sendiri gelas dan piring yang berisi gudeg itu.
“Beneran,
enak sekali gudeg ini,” ucap Fatimah.
“Sudah aku
bilang, tempat ini legendaris. Makanya tempat ini tetap ramai walaupun sudah
tengah malam seperti ini.”
“Oh iya,
masalah tadi. Dokumentasi, kamera dan wawancara. Kamu seorang wartawan?”
“Bukan,
aku sedang merintis menjadi seorang content creator. Mulai dulu lah dari
hal-hal bebas seperti ini, sebelum menjadi konsep yang jelas.”
“Kamu
punya akun youtube?”
“Punya, hanya saja subscribernya hanya ibuku dan …
tetangga mungkin,” jawab Humaira. Mendengar jawaban itu, mereka berdua tertawa
sangat lepas. Mereka seperti sepasang manusia yang sudah bersahabat sejak
kecil, padahal pada kenyataannya mereka baru bertemu sekitar 10 jam yang lalu.
“Pekerjaanmu apa Fat?” tanya Humaira.
“Sekarang aku pengangguran, kemarin aku adalah seorang
asisten produksi di Oval TV,” jawabnya.
“Resign?”
“Aku dipecat.”
“Oh, maaf kalau aku menyinggung,” ucap Humaira
menyesal.
“Tidak apa-apa, aku memang berbeda jalan dengan
mereka. Mungkin aku yang salah, entahlah. Makanya sekarang aku ingin
memperbaiki sudut pandangku lagi,” jawab Fatimah sambil tersenyum.
“Bagaimana jika kamu menjadi host, collab bareng gitu.
Siapa tahu nambah viewers.”
Fatimah hanya mengangguk, kemudian tertawa
sejadi-jadinya. Sungguh tak pernah terpikirkan olehnya. Rencana awalnya adalah
mendaki namun tiba-tiba menjadi seorang host.
Seusai mengisi perut dan tenaga, mereka melanjutkan
perjalanan menuju basecamp. Namun, ternyata tidak ada satupun kendaraan yang
bisa mereka tumpangi untuk ke sana.
“Permisi Bu, mau bertanya. Untuk ke Suwanting pakai
apa ya Bu?” tanya Fatimah.
“Bisa pakai taxi online Mba, jam segini belum ada
angkot. Atau kalau mau, Mba nya berdua tidur dulu di sini. Menunggu angkot
besok hari,” ucap si ibu penjual gudeg.
“Gimana Fat?” tanya Humaira.
“Tetap lanjut malam ini saja, aku harus jalan besok
pagi. Kalau agak siangan sudah mulai panas,” jawabnya.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menaiki sebuah taxi
online. Cukup lama mereka menunggu mobil itu datang, sampai akhirnya sebuah
taxi berhenti di depan mereka. Seorang pria paruh baya dengan jaket lusuhnya
menghampiri mereka berdua.
Matanya merah, berkantung dan berwarna hitam. Bertanya
kepada mereka.
“Benar dengan Ummu Hasnah?” tanya bapak itu.
“Iya, benar Pak,” jawab Fatimah.
“Sejak kapan namamu Ummu Hasnah?” Humaira keheranan.
“Itu nama penaku.”
“Oalah, bilang dong.”
Setelah meletakkan Tas kerilnya dibagasi, Mereka
melesat pergi menuju basecamp Suwanting. Di tengah perjalanan Ira menghidupkan
kameranya dan mulai merekam kegiatan mereka.
“Hai, Assalamualaikum guys! Aku Humaira dan kali ini,
petualanganku enggak sendirian karena hari ini aku ditemani sama Fatimah,” ucap
Ira sambil mengarahkan kameranya pada Fatimah.
Fatimah tak lagi malu-malu, “Assalamualaikum
teman-teman,” ujarnya.
“Sekarang kita sedang berada di Magelang nih! Rencana
mau ke Merbabu via Suwanting. Tapi, aku enggak ikut naik, cuma Fatimah saja,”
ucap Ira.
“Setelah ini mau ngapain kita Fat?” lanjutnya
mewawancarai Fatimah.
“Ini sudah jam setengah empat, mungkin sampai basecamp
mau bersih-bersih dulu. Salat, terus packing ulang barang-barang yang mau
disiapkan untuk naik ke Merbabu,” jawabnya sambil menjelaskan.
“Fatimah, sudah berapa kali nih naik gunung? Aku juga penasaran,
apalagi penonton nih,” ujar Ira.
“Kalau mendaki gunung, tiga tahun terakhir sudah lima
kali. Kerinci, Slamet, Sindoro, Sumbing dan yang paling terbaru itu gunung
Ciremei hampir satu tahun yang lalu.”
“Waaah! Lumayan juga jam terbangnya Mba Fatimah ini
pemirsa. Untuk pendakian Merbabu kali ini dengan siapa nih?”
Sambil tersenyum, Fatimah menjawab, “Sendiri.”
Seketika, Ira menutup kameranya. Kemudian, perempuan
itu menatap wajah Fatimah secara saksama. Cukup lama ia menatapnya.
“Kamu serius sendirian?” Ira tiba-tiba menjadi
khawatir.
“Iya, tenang saja. Aku sudah biasa mendaki gunung dan
aku yakin pasti ada rombongan lain yang mendaki. Aku bisa ikut rombongan itu.”
Fatimah mencoba membuat Ira tenang.
Taxi itupun berhenti di sebuah rumah yang cukup besar.
Bertuliskan “Selamat Datang Di Basecamp Pendakian Merbabu Via Suwanting”.
Mereka berdua turun dari mobil, kemudian mengambil barang-barang di bagasi.
“Berapa Pak?” tanya Fatimah.
“150 ribu Mba,” jawab bapak itu.
Fatimah merogoh dompetnya dan memberikan uang 200
ribu.
“Ambil saja kembaliannya Pak. Tolong doakan
keselamatan saya selama pendakian,” ucapnya.
"Jagalah diri kalian dari neraka meskipun
hanya dengan sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tak mendapatkannya,
maka ucapkanlah perkataan yang baik." (HR. Bukhari no. 1413, 3595).
0 komentar:
Posting Komentar