Selasa, 18 November 2025

REDAM

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.28 with No comments

Ada masa-masa dalam hidup ketika satu kalimat saja dapat meruntuhkan seluruh pertahanan yang susah payah kita bangun. Masa ketika sebuah komentar kecil, barisan fitnah yang dilemparkan dengan mudah, atau penghakiman yang tidak pernah kita minta, menjadi duri yang menancap begitu dalam, sampai-sampai tidur pun rasanya bukan lagi tempat berlindung. Kadang satu kalimat itu datang dari orang asing. Kadang dari seseorang yang kita kenal. Dan paling menyakitkan, kadang dari diri sendiri.

Aku sering bertanya-tanya kenapa manusia begitu gampang menilai. Kenapa begitu mudah bagi sebagian orang untuk mengomentari hidup orang lain seolah mereka memiliki peta lengkap atas isi kepala kita. Dari sekian banyak kata yang dilemparkan ke arahku, ada yang langsung menguap lenyap, ada yang hanya membuatku mendesah panjang, namun ada pula yang menempel seperti noda, menghitamkan hari-hariku dari dalam.

Dan di antara noda-noda itu, ada satu yang membuatku limbung. Sebuah kata yang saat pertama kali kudengar, rasanya seperti dunia berhenti untuk sepersekian detik. Kata yang membuatku bertanya apakah benar aku serapuh itu? Apakah benar jiwaku sudah sedemikian retaknya?

Aku tidak ingin mengulang kata itu di sini. Bukan karena aku takut, tapi karena aku ingin memberi jarak. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang penghakiman itu. Namun biar bagaimanapun, efeknya nyata. Kalimat itu membuatku kehilangan arah. Menjadikan kepalaku tempat berisik yang sulit kutenangkan. Ada hari-hari ketika napasku sesak tanpa sebab, ketika seluruh tubuhku terasa seperti medan perang antara pikiran yang ingin menyerah dan hati yang memaksa bertahan.

Kadang panik datang tanpa mengetuk.
Kadang ia muncul begitu saja saat aku sedang tersenyum, seolah ingin mengingatkanku bahwa ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kadang aku tidak tahu apa penyebabnya, dan itu yang membuatnya semakin menakutkan. Tapi begitulah hidup. Tidak semua yang kita rasakan harus punya asal-usul yang jelas. Tidak semua penderitaan punya nama.

Ada masa ketika aku merasa terus-menerus diawasi. Seolah setiap gerak-gerikku salah, setiap pilihanku dipertanyakan, setiap keputusanku menjadi bahan gosip. Mungkin itu hanya ilusi. Mungkin hanya ketakutanku sendiri. Tapi pada saat-saat paling rapuh, ilusi itu terasa seperti kenyataan yang keras.

Ada suara-suara yang mencemooh dari kejauhan, tapi ada juga suara-suara yang terdengar lebih dekat: suara dari dalam kepala, yang mengulang-ulang kata-kata orang lain sampai aku tidak tahu lagi mana yang sebenarnya milikku dan mana yang telah menyusup tanpa izin.

Aku mencoba bertahan. Hari demi hari aku bangun, menyeret diri keluar dari kasur, tetap menjalani hidup meski dadaku sesak. Aku bertahan bukan karena aku kuat, tapi karena aku tidak punya pilihan lain. Hidup memaksaku untuk tetap ada, walau rasanya aku ingin berhenti sejenak. Namun setiap kali aku ingin menyerah, ada sesuatu yang halus dan tipis bertahan di dasar diriku—sebuah harapan kecil, atau mungkin hanya kebiasaan untuk tetap hidup.

Aku terus berada di sini, meski remuk sedikit demi sedikit.
Aku tetap berjalan, meski langkahku goyah.
Aku tetap memilih hadir, walau setengah diriku ingin menghilang.

Dan perlahan-lahan, aku mulai mengerti sesuatu: hidup memang tidak datang dengan jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hidup hanya memberiku kesempatan untuk memilih respons. Justru di situlah kekuatannya. Di hidupku, apa pun yang kulakukan… harus kulakukan untuk diriku sendiri. Bukan untuk mereka yang sibuk mengurusiku tiap detik, menit, jam. Bukan untuk orang-orang yang ingin mengatur kehidupanku seolah mereka lebih tahu apa yang kubutuhkan.

Hidup ini pilihan, dan aku memilih menjadi diriku sendiri. Bahkan ketika dunia mencoba memaksaku menjadi orang lain.

Ada hari-hari ketika suara-suara itu terlalu bising. Penghakiman terdengar dari segala arah. Opini orang lain melaju tanpa rem. Dan di tengah semua itu, aku merasa tubuhku mengecil, seolah aku hanya serpihan kecil yang hanyut di antara ombak besar.

Pada hari-hari seperti itu, aku hanya ingin menutup telinga.
Bukan untuk mengabaikan kenyataan,
bukan untuk melarikan diri,
tapi untuk menjaga kewarasanku sendiri.

Semua orang punya batas. Dan batasku seringkali lebih tipis dari yang kukira. Ada kalanya aku duduk di sudut kamar, kedua tangan menutup telinga, mencoba meredam suara-suara di dalam maupun di luar diriku. Itu bukan kelemahan. Itu adalah bentuk paling jujur dari perlawanan: melindungi diri dari hal-hal yang ingin merobek sisi terdalam jiwaku.

Dalam keheningan itu, aku mencoba mendengarkan diriku sendiri. Mendengar suara hati yang selama ini tenggelam oleh keributan dunia. Mendengar napas yang selama ini terengah-engah. Mendengar ketakutanku, dan menyentuhnya perlahan, dengan belas kasih.

Padamkan marah, bisikku kepada diri sendiri.
Padamkan bising itu.
Peluklah dirimu yang ketakutan.
Berteduhlah di dalam dirimu sendiri.
Tidak apa-apa jika ini satu-satunya tempat yang terasa aman saat ini.

Aku mulai mengerti bahwa hidup tidak selalu penuh kemenangan. Tidak selalu tentang bangkit dengan gagah setiap kali jatuh. Ada kalanya hidup adalah tentang menerima kenyataan bahwa kita lelah. Bahwa kita manusia. Bahwa kita punya malam-malam gelap yang tidak perlu dipamerkan kepada siapa pun.

Ada luka yang sangat pribadi, yang bahkan bahasa pun enggan menyentuhnya.
Ada rasa sakit yang begitu dalam, sampai aku hanya bisa merasakannya dalam diam.

Tapi Tuhan bekerja dalam cara-cara halus. Dalam jeda. Dalam hening. Dalam napas yang kembali teratur setelah serangan panik mereda. Dalam pagi yang tiba tanpa kuminta. Dalam kekuatan yang pelan-pelan tumbuh, bahkan ketika aku merasa tidak sanggup lagi.

Mungkin aku telah terbiasa dengan kesal dan kecewa.
Mungkin aku telah terlalu sering berhadapan dengan kegelapan.
Tapi aku masih di sini.
Masih bertahan.
Masih mencoba.
Dan itu sudah cukup.

Aku mulai memahami bahwa hidup tidak harus selalu dipahami.
Ada rasa sakit yang tidak punya penjelasan.
Ada ketakutan yang tidak punya akar.
Tapi justru di sanalah letaknya kemanusiaan:
kemampuan untuk merasakan, meski tidak tahu alasannya.

Pelan-pelan aku belajar membangun rumah di dalam diriku sendiri.

Rumah yang tidak mudah runtuh oleh kata orang.
Rumah yang tidak goyah oleh fitnah atau cacian.
Rumah yang berdiri dari penerimaan, bukan dari ketakutan.

Aku belajar bahwa kehancuran tidak selalu berarti berakhir. Kadang kehancuran justru adalah permulaan. Luka membuatku tumbuh. Rasa hancur mengajarkanku bentuk baru dari kekuatan. Penghakiman mengajarkanku bahwa nilai diriku tidak boleh berasal dari mulut orang lain.

Dan perlahan, aku mulai merangkul nasibku.
Bukan dengan pasrah,
tapi dengan keteguhan.

Aku mulai berbicara kepada diri sendiri dengan lebih lembut.
Aku mulai lebih sabar dengan prosesku sendiri.
Aku mulai memberi ruang untuk istirahat, untuk hening, untuk semua hal kecil yang membantuku bertahan.

Entah apa penyebab rasa sakit ini,
entah apa akar dari semua ketakutan ini,
aku tidak tahu.
Tapi tidak mengetahui bukan alasan untuk berhenti hidup.

Kini, ketika aku menatap hari-hari yang menanti, aku tidak lagi melihatnya sebagai musuh. Ada ketakutan, tentu. Ada cemas yang masih datang sesekali. Ada masa lalu yang kadang mengetuk pintu. Tapi ada juga harapan kecil yang semakin tumbuh, diam-diam, tanpa perlu sorotan.

Aku belajar bahwa menjadi manusia berarti mengalami.
Mengalami pahit dan manis.
Mengalami jatuh dan bangun.
Mengalami bising dan hening.
Mengalami diri sendiri dalam berbagai bentuknya.

Dan mungkin…
mungkin aku sudah mulai terbiasa.
Bukan karena aku kebal,
tapi karena aku belajar berdamai.

Aku belajar bahwa tidak semua suara pantas kudengar.
Tidak semua kata layak memengaruhi langkahku.
Tidak semua orang berhak menentukan arah hidupku.

Aku masih di sini,
masih berproses,
masih bertahan dengan caraku sendiri.

Hidup memang tidak selalu mudah.
Tapi aku sedang menuju tempat yang lebih tenang.
Tempat di mana aku bisa bernapas tanpa rasa bersalah.
Tempat di mana aku bisa memeluk diriku yang rapuh dan berkata:

"kita baik-baik saja."

Dan mungkin untuk saat ini,
itu sudah lebih dari cukup.

YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2025

Sabtu, 08 November 2025

UNTUKMU MANUSIA FAVORTKU 2

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.46 with No comments

Ada banyak tulisan di dunia ini tentang cinta. Ada yang lahir dari pertemuan singkat dan berakhir menjadi lupa; ada pula yang lahir dari luka, bertahan dalam kenangan, tapi tak pernah menjadi pulang. Namun hari ini, aku menulis tentang sesuatu yang berbeda. tentangmu, seseorang yang belum sepenuhnya kumiliki, namun sudah sangat kurawat dalam doa-doaku.

Mungkin kita belum berjalan sejauh itu. Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang esok, tentang bagaimana dunia mempertemukan dua hati yang diam-diam belajar saling memahami. Namun hari ini, izinkan aku menuliskan sebuah surat yang kelak ingin kubacakan padamu ketika tangan kita telah saling menggenggam, ketika nama kita akhirnya menyatu dalam doa yang sama, dan ketika hidup memutuskan bahwa kau adalah rumah yang kucari sejak lama.

Di dunia ini, tak ada yang lebih melukai hati seorang lelaki selain melihat perempuan yang ia cintai menangis. Bukan karena air mata itu lemah, bukan pula karena kesedihan itu mengganggu, namun karena dari sekian banyak manusia yang bisa menyakitimu, aku tidak ingin menjadi salah satunya.

Kalau kelak kau menangis, aku ingin menjadi alasan air matamu berhenti, bukan sebab ia mengalir. Aku ingin menjadi letak wajahmu kembali cerah, bukan tempat hatimu retak. Aku ingin menjadi pelukan pertama yang kau cari ketika hidup terasa berat, dan sandaran terakhir yang membuatmu merasa aman, meski dunia tidak selalu ramah.

Aku tidak datang sebagai laki-laki yang sempurna. Kesalahanku bisa saja melukai tanpa sengaja, kata-kataku mungkin keras saat lelah, dan langkahku mungkin salah arah pada beberapa waktu. Tapi meski begitu, aku datang dengan janji: aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian. Jika dunia membuatmu terjatuh, aku akan membantumu berdiri. Jika hidup membuatmu takut, aku akan berdiri di depanmu dan berkata, “Tenang, ada aku.”

Sebab dari jutaan hal yang kupelajari tentang cinta, ada satu yang paling penting: bahwa menjaga hati seseorang lebih mulia daripada memilikinya.

Sudahi air mata itu. Bukan karena kau tak boleh bersedih, tetapi karena kau layak bahagia.

Aku tahu hidupmu tidak selalu mudah. Mungkin sebelum aku datang, ada orang yang membuat hatimu patah. Mungkin kau belajar kuat bukan karena ingin, tapi karena hidup memaksamu menjadi begitu. Dan mungkin, ada malam-malam panjang ketika kau merasa sendirian, meskipun banyak orang di sekelilingmu.

Aku ingin menjadi orang yang berbeda dari nama yang pernah menyakitimu. Aku ingin menjadi lelaki yang tidak kau ragukan kehadirannya. Lelaki yang tetap tinggal meski banyak hal berubah. Lelaki yang tidak berjalan pergi ketika badai datang, tapi justru berdiri bersamamu di tengah hujan.

Jika kau kelelahan, aku ingin kau istirahat dalam tenang, bukan menangis. Jika kau merasa gagal, aku ingin kau tahu: tidak ada manusia yang selalu kuat, dan tidak ada hati yang selalu tegar. Kau tidak harus menjadi sempurna di mataku. Aku hanya ingin kau menjadi dirimu sendiri.

Karena dari jutaan perempuan di dunia ini, aku memilihmu bukan karena kau tak pernah terluka, tapi karena aku ingin menjadi alasan lukamu sembuh.

Hadirku bukan untuk menjadi laki-laki yang hanya kau kenal melalui kata-kata. Aku ingin menjadi laki-laki yang hidup dalam tindakan. Aku tidak ingin kau mencintaiku karena harapan, tapi karena bukti.

Aku hadir untuk menjadi penenangmu.
Aku hadir untuk menjadi bahumu.
Aku hadir untuk menjadi rumahmu.

Aku ingin kehadiranku membuatmu merasa aman, bukan takut kehilangan. Aku ingin menjadi sosok yang, ketika kau mengingatnya, hati terasa ringan dan dunia terasa mungkin.

Hadirku bukan untuk merampas duniamu, tapi untuk memilikinya bersamamu. Impianmu tidak akan menjadi lebih kecil karenaku; justru akan menjadi lebih besar karena kita akan melakukannya bersama.

Jika kau ingin menanjaki gunung, aku akan ikut, meski kakiku gemetar. Jika kau ingin mengunjungi kota-kota yang belum pernah kau datangi, aku akan menabung bersamamu sampai itu terjadi. Jika kau ingin melanjutkan mimpi yang sempat terhenti, aku akan membantu membangunnya dari awal.

Aku tidak ingin menjadi laki-laki yang hanya kau sebut sebagai pasangan. Aku ingin menjadi bagian dari perjalananmu.

Luka dalam diri seseorang tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah tempat—dari dada yang sesak menjadi kenangan yang diterima. Tapi mungkin, dengan cinta yang tepat, luka-luka itu tidak lagi sakit.

Aku tidak menjanjikan hidup tanpa duka. Dunia terlalu luas untuk memberikan kita kebahagiaan tanpa cela. Tapi yang bisa kujanjikan adalah ini—

Jika kau terluka, aku tidak akan berpaling.
Jika kau sedih, aku tidak akan diam.
Jika kau lelah, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi itu sendirian.

Aku ingin menjadi tangan yang mengeringkan air matamu. Menjadi suara yang menenangkan kepalamu. Menjadi pelukan yang memberi tahu bahwa tidak semua hal di dunia ini berniat menyakitimu.

Aku ingin menjadi alasan kau kembali percaya bahwa cinta yang lembut itu benar-benar ada.

Banyak lelaki mencintai perempuan dengan kebanggaan, tapi tidak banyak yang menjaganya dengan kehormatan. Kelak, ketika aku menyebutmu istriku, aku ingin melakukannya dengan hormat, bukan sekadar bangga.

Karena perempuan adalah amanah.
Dan cinta adalah tanggung jawab.

Kau bukan hiasan di hidupku.
Bukan pelengkap hari-hariku.
Bukan seseorang yang hanya datang ketika aku butuh ditemani.

Kau adalah kehormatanku.

Kau adalah seseorang yang akan kutemani berjalan dalam terang, dan tetap kutuntun ketika gelap datang. Seseorang yang akan kubuat merasa berharga setiap harinya, bukan hanya di awal hubungan. Seseorang yang ingin kubahagiakan tanpa syarat.

Tidak ada laki-laki yang benar-benar mencintai tanpa menghormati. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang benar: dengan setia, dengan jujur, dengan lembut.

Tidak banyak yang ingin kuminta darimu. Cinta tidak boleh dipenuhi tuntutan, sebab ketika cinta meminta terlalu banyak, ia kehilangan bentuknya dan menjadi beban.

Aku hanya memintamu satu hal: baik-baiklah.

Baik-baik saat hidupmu mudah.
Baik-baik saat hidupmu berat.

Ada aku untukmu.

Aku tidak ingin melihatmu hancur, aku tidak ingin melihatmu kehilangan dirimu hanya karena dunia tidak selalu adil. Aku ingin kau tetap menjadi perempuan kuat yang pernah kucintai, tetapi juga perempuan lembut yang tidak perlu menyembunyikan air matanya.

Siang dan malam, bahagia atau sedih, aku ingin kau ingat bahwa hatimu punya tempat pulang. Tidak perlu memikul semua hal sendirian. Tidak perlu selalu terlihat tegar di mata semua orang.

Jika terasa berat, bagi sedikit bebannya padaku.

Aku ingin kau bahagia dengan cara yang sederhana, tidur dengan tenang, bangun dengan senyum, dan menjalani hidup dengan keyakinan bahwa ada seseorang yang selalu memihakmu.

Tidak semua yang kau inginkan akan mudah kuhadirkan. Tapi aku ingin mencobanya. Mengusahakanmu adalah hal paling mulia yang bisa kulakukan sebagai lelaki.

Jika kau ingin rumah yang hangat, aku akan bekerja keras untuk membangunnya.
Jika kau ingin keluarga yang baik, aku akan belajar menjadi suami yang bijak.
Jika kelak kita diberi anak, aku ingin menjadi ayah yang mereka banggakan.

Bahkan jika dunia memisahkan banyak hal dari kita, aku tidak akan berhenti berusaha. Cinta bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tenaga, waktu, pengorbanan, dan komitmen.

Aku tidak ingin mencintaimu hanya setelah kita menikah. Aku ingin mencintaimu sejak hari ini, hingga suatu hari nanti aku memegang tanganmu di altar dan berkata, “Terima kasih sudah memilihku.”

Aku menuliskan ini dua kali bukan karena salah, tapi karena aku ingin kau tahu betapa pentingnya kalimat ini. Cinta tidak boleh sekadar manis, ia harus penuh tanggung jawab.

Jika Tuhan menuliskan namamu di hidupku, aku akan menjagamu bukan sebagai seseorang yang hadir di hati, tapi sebagai seseorang yang kupeluk di dunia nyata. Aku ingin mencintaimu dengan agama, dengan doa, dengan cara yang membuat hidupmu baik, bukan sekadar indah.

Cinta itu bukan hanya untuk bahagia bersama. Kadang cinta juga harus berjuang bersama, sembuh bersama, bertahan bersama. Dan jika dunia menantang kita, kita akan menjawabnya tangan dalam tangan.

Aku tidak tahu di mana kau sekarang. Mungkin kau sedang membaca ini sambil tersenyum pelan, mungkin kau belum mengenalku sama sekali, atau mungkin kau sedang berdoa agar suatu hari nanti seseorang benar-benar mencintaimu tanpa syarat.

Jika waktunya tiba, aku ingin menjadi jawaban dari doa-doa itu.
Jika waktunya tiba, aku ingin menjadi bahu tempat kau kembali.
Dan jika Tuhan mengizinkan, aku ingin menjadi lelaki pertama yang kau lihat setiap pagi saat membuka mata.

Aku tidak meminta cinta yang sempurna.
Aku hanya ingin cinta yang saling menyembuhkan.

Hingga hari itu datang, jagalah dirimu baik-baik.
Hiduplah dengan lembut.
Bahagialah sebanyak yang kau bisa.

Karena suatu hari nanti, aku ingin memelukmu dengan bangga dan berkata:
“Aku bersyukur semesta membawamu padaku.”

Sampai jumpa, calon istriku...
Aku sedang menunggumu dengan hati yang tetap setia.