Selasa, 18 November 2025

REDAM

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.28 with No comments

Ada masa-masa dalam hidup ketika satu kalimat saja dapat meruntuhkan seluruh pertahanan yang susah payah kita bangun. Masa ketika sebuah komentar kecil, barisan fitnah yang dilemparkan dengan mudah, atau penghakiman yang tidak pernah kita minta, menjadi duri yang menancap begitu dalam, sampai-sampai tidur pun rasanya bukan lagi tempat berlindung. Kadang satu kalimat itu datang dari orang asing. Kadang dari seseorang yang kita kenal. Dan paling menyakitkan, kadang dari diri sendiri.

Aku sering bertanya-tanya kenapa manusia begitu gampang menilai. Kenapa begitu mudah bagi sebagian orang untuk mengomentari hidup orang lain seolah mereka memiliki peta lengkap atas isi kepala kita. Dari sekian banyak kata yang dilemparkan ke arahku, ada yang langsung menguap lenyap, ada yang hanya membuatku mendesah panjang, namun ada pula yang menempel seperti noda, menghitamkan hari-hariku dari dalam.

Dan di antara noda-noda itu, ada satu yang membuatku limbung. Sebuah kata yang saat pertama kali kudengar, rasanya seperti dunia berhenti untuk sepersekian detik. Kata yang membuatku bertanya apakah benar aku serapuh itu? Apakah benar jiwaku sudah sedemikian retaknya?

Aku tidak ingin mengulang kata itu di sini. Bukan karena aku takut, tapi karena aku ingin memberi jarak. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang penghakiman itu. Namun biar bagaimanapun, efeknya nyata. Kalimat itu membuatku kehilangan arah. Menjadikan kepalaku tempat berisik yang sulit kutenangkan. Ada hari-hari ketika napasku sesak tanpa sebab, ketika seluruh tubuhku terasa seperti medan perang antara pikiran yang ingin menyerah dan hati yang memaksa bertahan.

Kadang panik datang tanpa mengetuk.
Kadang ia muncul begitu saja saat aku sedang tersenyum, seolah ingin mengingatkanku bahwa ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kadang aku tidak tahu apa penyebabnya, dan itu yang membuatnya semakin menakutkan. Tapi begitulah hidup. Tidak semua yang kita rasakan harus punya asal-usul yang jelas. Tidak semua penderitaan punya nama.

Ada masa ketika aku merasa terus-menerus diawasi. Seolah setiap gerak-gerikku salah, setiap pilihanku dipertanyakan, setiap keputusanku menjadi bahan gosip. Mungkin itu hanya ilusi. Mungkin hanya ketakutanku sendiri. Tapi pada saat-saat paling rapuh, ilusi itu terasa seperti kenyataan yang keras.

Ada suara-suara yang mencemooh dari kejauhan, tapi ada juga suara-suara yang terdengar lebih dekat: suara dari dalam kepala, yang mengulang-ulang kata-kata orang lain sampai aku tidak tahu lagi mana yang sebenarnya milikku dan mana yang telah menyusup tanpa izin.

Aku mencoba bertahan. Hari demi hari aku bangun, menyeret diri keluar dari kasur, tetap menjalani hidup meski dadaku sesak. Aku bertahan bukan karena aku kuat, tapi karena aku tidak punya pilihan lain. Hidup memaksaku untuk tetap ada, walau rasanya aku ingin berhenti sejenak. Namun setiap kali aku ingin menyerah, ada sesuatu yang halus dan tipis bertahan di dasar diriku—sebuah harapan kecil, atau mungkin hanya kebiasaan untuk tetap hidup.

Aku terus berada di sini, meski remuk sedikit demi sedikit.
Aku tetap berjalan, meski langkahku goyah.
Aku tetap memilih hadir, walau setengah diriku ingin menghilang.

Dan perlahan-lahan, aku mulai mengerti sesuatu: hidup memang tidak datang dengan jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hidup hanya memberiku kesempatan untuk memilih respons. Justru di situlah kekuatannya. Di hidupku, apa pun yang kulakukan… harus kulakukan untuk diriku sendiri. Bukan untuk mereka yang sibuk mengurusiku tiap detik, menit, jam. Bukan untuk orang-orang yang ingin mengatur kehidupanku seolah mereka lebih tahu apa yang kubutuhkan.

Hidup ini pilihan, dan aku memilih menjadi diriku sendiri. Bahkan ketika dunia mencoba memaksaku menjadi orang lain.

Ada hari-hari ketika suara-suara itu terlalu bising. Penghakiman terdengar dari segala arah. Opini orang lain melaju tanpa rem. Dan di tengah semua itu, aku merasa tubuhku mengecil, seolah aku hanya serpihan kecil yang hanyut di antara ombak besar.

Pada hari-hari seperti itu, aku hanya ingin menutup telinga.
Bukan untuk mengabaikan kenyataan,
bukan untuk melarikan diri,
tapi untuk menjaga kewarasanku sendiri.

Semua orang punya batas. Dan batasku seringkali lebih tipis dari yang kukira. Ada kalanya aku duduk di sudut kamar, kedua tangan menutup telinga, mencoba meredam suara-suara di dalam maupun di luar diriku. Itu bukan kelemahan. Itu adalah bentuk paling jujur dari perlawanan: melindungi diri dari hal-hal yang ingin merobek sisi terdalam jiwaku.

Dalam keheningan itu, aku mencoba mendengarkan diriku sendiri. Mendengar suara hati yang selama ini tenggelam oleh keributan dunia. Mendengar napas yang selama ini terengah-engah. Mendengar ketakutanku, dan menyentuhnya perlahan, dengan belas kasih.

Padamkan marah, bisikku kepada diri sendiri.
Padamkan bising itu.
Peluklah dirimu yang ketakutan.
Berteduhlah di dalam dirimu sendiri.
Tidak apa-apa jika ini satu-satunya tempat yang terasa aman saat ini.

Aku mulai mengerti bahwa hidup tidak selalu penuh kemenangan. Tidak selalu tentang bangkit dengan gagah setiap kali jatuh. Ada kalanya hidup adalah tentang menerima kenyataan bahwa kita lelah. Bahwa kita manusia. Bahwa kita punya malam-malam gelap yang tidak perlu dipamerkan kepada siapa pun.

Ada luka yang sangat pribadi, yang bahkan bahasa pun enggan menyentuhnya.
Ada rasa sakit yang begitu dalam, sampai aku hanya bisa merasakannya dalam diam.

Tapi Tuhan bekerja dalam cara-cara halus. Dalam jeda. Dalam hening. Dalam napas yang kembali teratur setelah serangan panik mereda. Dalam pagi yang tiba tanpa kuminta. Dalam kekuatan yang pelan-pelan tumbuh, bahkan ketika aku merasa tidak sanggup lagi.

Mungkin aku telah terbiasa dengan kesal dan kecewa.
Mungkin aku telah terlalu sering berhadapan dengan kegelapan.
Tapi aku masih di sini.
Masih bertahan.
Masih mencoba.
Dan itu sudah cukup.

Aku mulai memahami bahwa hidup tidak harus selalu dipahami.
Ada rasa sakit yang tidak punya penjelasan.
Ada ketakutan yang tidak punya akar.
Tapi justru di sanalah letaknya kemanusiaan:
kemampuan untuk merasakan, meski tidak tahu alasannya.

Pelan-pelan aku belajar membangun rumah di dalam diriku sendiri.

Rumah yang tidak mudah runtuh oleh kata orang.
Rumah yang tidak goyah oleh fitnah atau cacian.
Rumah yang berdiri dari penerimaan, bukan dari ketakutan.

Aku belajar bahwa kehancuran tidak selalu berarti berakhir. Kadang kehancuran justru adalah permulaan. Luka membuatku tumbuh. Rasa hancur mengajarkanku bentuk baru dari kekuatan. Penghakiman mengajarkanku bahwa nilai diriku tidak boleh berasal dari mulut orang lain.

Dan perlahan, aku mulai merangkul nasibku.
Bukan dengan pasrah,
tapi dengan keteguhan.

Aku mulai berbicara kepada diri sendiri dengan lebih lembut.
Aku mulai lebih sabar dengan prosesku sendiri.
Aku mulai memberi ruang untuk istirahat, untuk hening, untuk semua hal kecil yang membantuku bertahan.

Entah apa penyebab rasa sakit ini,
entah apa akar dari semua ketakutan ini,
aku tidak tahu.
Tapi tidak mengetahui bukan alasan untuk berhenti hidup.

Kini, ketika aku menatap hari-hari yang menanti, aku tidak lagi melihatnya sebagai musuh. Ada ketakutan, tentu. Ada cemas yang masih datang sesekali. Ada masa lalu yang kadang mengetuk pintu. Tapi ada juga harapan kecil yang semakin tumbuh, diam-diam, tanpa perlu sorotan.

Aku belajar bahwa menjadi manusia berarti mengalami.
Mengalami pahit dan manis.
Mengalami jatuh dan bangun.
Mengalami bising dan hening.
Mengalami diri sendiri dalam berbagai bentuknya.

Dan mungkin…
mungkin aku sudah mulai terbiasa.
Bukan karena aku kebal,
tapi karena aku belajar berdamai.

Aku belajar bahwa tidak semua suara pantas kudengar.
Tidak semua kata layak memengaruhi langkahku.
Tidak semua orang berhak menentukan arah hidupku.

Aku masih di sini,
masih berproses,
masih bertahan dengan caraku sendiri.

Hidup memang tidak selalu mudah.
Tapi aku sedang menuju tempat yang lebih tenang.
Tempat di mana aku bisa bernapas tanpa rasa bersalah.
Tempat di mana aku bisa memeluk diriku yang rapuh dan berkata:

"kita baik-baik saja."

Dan mungkin untuk saat ini,
itu sudah lebih dari cukup.

YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2025

Sabtu, 08 November 2025

UNTUKMU MANUSIA FAVORTKU 2

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.46 with No comments

Ada banyak tulisan di dunia ini tentang cinta. Ada yang lahir dari pertemuan singkat dan berakhir menjadi lupa; ada pula yang lahir dari luka, bertahan dalam kenangan, tapi tak pernah menjadi pulang. Namun hari ini, aku menulis tentang sesuatu yang berbeda. tentangmu, seseorang yang belum sepenuhnya kumiliki, namun sudah sangat kurawat dalam doa-doaku.

Mungkin kita belum berjalan sejauh itu. Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang esok, tentang bagaimana dunia mempertemukan dua hati yang diam-diam belajar saling memahami. Namun hari ini, izinkan aku menuliskan sebuah surat yang kelak ingin kubacakan padamu ketika tangan kita telah saling menggenggam, ketika nama kita akhirnya menyatu dalam doa yang sama, dan ketika hidup memutuskan bahwa kau adalah rumah yang kucari sejak lama.

Di dunia ini, tak ada yang lebih melukai hati seorang lelaki selain melihat perempuan yang ia cintai menangis. Bukan karena air mata itu lemah, bukan pula karena kesedihan itu mengganggu, namun karena dari sekian banyak manusia yang bisa menyakitimu, aku tidak ingin menjadi salah satunya.

Kalau kelak kau menangis, aku ingin menjadi alasan air matamu berhenti, bukan sebab ia mengalir. Aku ingin menjadi letak wajahmu kembali cerah, bukan tempat hatimu retak. Aku ingin menjadi pelukan pertama yang kau cari ketika hidup terasa berat, dan sandaran terakhir yang membuatmu merasa aman, meski dunia tidak selalu ramah.

Aku tidak datang sebagai laki-laki yang sempurna. Kesalahanku bisa saja melukai tanpa sengaja, kata-kataku mungkin keras saat lelah, dan langkahku mungkin salah arah pada beberapa waktu. Tapi meski begitu, aku datang dengan janji: aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian. Jika dunia membuatmu terjatuh, aku akan membantumu berdiri. Jika hidup membuatmu takut, aku akan berdiri di depanmu dan berkata, “Tenang, ada aku.”

Sebab dari jutaan hal yang kupelajari tentang cinta, ada satu yang paling penting: bahwa menjaga hati seseorang lebih mulia daripada memilikinya.

Sudahi air mata itu. Bukan karena kau tak boleh bersedih, tetapi karena kau layak bahagia.

Aku tahu hidupmu tidak selalu mudah. Mungkin sebelum aku datang, ada orang yang membuat hatimu patah. Mungkin kau belajar kuat bukan karena ingin, tapi karena hidup memaksamu menjadi begitu. Dan mungkin, ada malam-malam panjang ketika kau merasa sendirian, meskipun banyak orang di sekelilingmu.

Aku ingin menjadi orang yang berbeda dari nama yang pernah menyakitimu. Aku ingin menjadi lelaki yang tidak kau ragukan kehadirannya. Lelaki yang tetap tinggal meski banyak hal berubah. Lelaki yang tidak berjalan pergi ketika badai datang, tapi justru berdiri bersamamu di tengah hujan.

Jika kau kelelahan, aku ingin kau istirahat dalam tenang, bukan menangis. Jika kau merasa gagal, aku ingin kau tahu: tidak ada manusia yang selalu kuat, dan tidak ada hati yang selalu tegar. Kau tidak harus menjadi sempurna di mataku. Aku hanya ingin kau menjadi dirimu sendiri.

Karena dari jutaan perempuan di dunia ini, aku memilihmu bukan karena kau tak pernah terluka, tapi karena aku ingin menjadi alasan lukamu sembuh.

Hadirku bukan untuk menjadi laki-laki yang hanya kau kenal melalui kata-kata. Aku ingin menjadi laki-laki yang hidup dalam tindakan. Aku tidak ingin kau mencintaiku karena harapan, tapi karena bukti.

Aku hadir untuk menjadi penenangmu.
Aku hadir untuk menjadi bahumu.
Aku hadir untuk menjadi rumahmu.

Aku ingin kehadiranku membuatmu merasa aman, bukan takut kehilangan. Aku ingin menjadi sosok yang, ketika kau mengingatnya, hati terasa ringan dan dunia terasa mungkin.

Hadirku bukan untuk merampas duniamu, tapi untuk memilikinya bersamamu. Impianmu tidak akan menjadi lebih kecil karenaku; justru akan menjadi lebih besar karena kita akan melakukannya bersama.

Jika kau ingin menanjaki gunung, aku akan ikut, meski kakiku gemetar. Jika kau ingin mengunjungi kota-kota yang belum pernah kau datangi, aku akan menabung bersamamu sampai itu terjadi. Jika kau ingin melanjutkan mimpi yang sempat terhenti, aku akan membantu membangunnya dari awal.

Aku tidak ingin menjadi laki-laki yang hanya kau sebut sebagai pasangan. Aku ingin menjadi bagian dari perjalananmu.

Luka dalam diri seseorang tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah tempat—dari dada yang sesak menjadi kenangan yang diterima. Tapi mungkin, dengan cinta yang tepat, luka-luka itu tidak lagi sakit.

Aku tidak menjanjikan hidup tanpa duka. Dunia terlalu luas untuk memberikan kita kebahagiaan tanpa cela. Tapi yang bisa kujanjikan adalah ini—

Jika kau terluka, aku tidak akan berpaling.
Jika kau sedih, aku tidak akan diam.
Jika kau lelah, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi itu sendirian.

Aku ingin menjadi tangan yang mengeringkan air matamu. Menjadi suara yang menenangkan kepalamu. Menjadi pelukan yang memberi tahu bahwa tidak semua hal di dunia ini berniat menyakitimu.

Aku ingin menjadi alasan kau kembali percaya bahwa cinta yang lembut itu benar-benar ada.

Banyak lelaki mencintai perempuan dengan kebanggaan, tapi tidak banyak yang menjaganya dengan kehormatan. Kelak, ketika aku menyebutmu istriku, aku ingin melakukannya dengan hormat, bukan sekadar bangga.

Karena perempuan adalah amanah.
Dan cinta adalah tanggung jawab.

Kau bukan hiasan di hidupku.
Bukan pelengkap hari-hariku.
Bukan seseorang yang hanya datang ketika aku butuh ditemani.

Kau adalah kehormatanku.

Kau adalah seseorang yang akan kutemani berjalan dalam terang, dan tetap kutuntun ketika gelap datang. Seseorang yang akan kubuat merasa berharga setiap harinya, bukan hanya di awal hubungan. Seseorang yang ingin kubahagiakan tanpa syarat.

Tidak ada laki-laki yang benar-benar mencintai tanpa menghormati. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang benar: dengan setia, dengan jujur, dengan lembut.

Tidak banyak yang ingin kuminta darimu. Cinta tidak boleh dipenuhi tuntutan, sebab ketika cinta meminta terlalu banyak, ia kehilangan bentuknya dan menjadi beban.

Aku hanya memintamu satu hal: baik-baiklah.

Baik-baik saat hidupmu mudah.
Baik-baik saat hidupmu berat.

Ada aku untukmu.

Aku tidak ingin melihatmu hancur, aku tidak ingin melihatmu kehilangan dirimu hanya karena dunia tidak selalu adil. Aku ingin kau tetap menjadi perempuan kuat yang pernah kucintai, tetapi juga perempuan lembut yang tidak perlu menyembunyikan air matanya.

Siang dan malam, bahagia atau sedih, aku ingin kau ingat bahwa hatimu punya tempat pulang. Tidak perlu memikul semua hal sendirian. Tidak perlu selalu terlihat tegar di mata semua orang.

Jika terasa berat, bagi sedikit bebannya padaku.

Aku ingin kau bahagia dengan cara yang sederhana, tidur dengan tenang, bangun dengan senyum, dan menjalani hidup dengan keyakinan bahwa ada seseorang yang selalu memihakmu.

Tidak semua yang kau inginkan akan mudah kuhadirkan. Tapi aku ingin mencobanya. Mengusahakanmu adalah hal paling mulia yang bisa kulakukan sebagai lelaki.

Jika kau ingin rumah yang hangat, aku akan bekerja keras untuk membangunnya.
Jika kau ingin keluarga yang baik, aku akan belajar menjadi suami yang bijak.
Jika kelak kita diberi anak, aku ingin menjadi ayah yang mereka banggakan.

Bahkan jika dunia memisahkan banyak hal dari kita, aku tidak akan berhenti berusaha. Cinta bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tenaga, waktu, pengorbanan, dan komitmen.

Aku tidak ingin mencintaimu hanya setelah kita menikah. Aku ingin mencintaimu sejak hari ini, hingga suatu hari nanti aku memegang tanganmu di altar dan berkata, “Terima kasih sudah memilihku.”

Aku menuliskan ini dua kali bukan karena salah, tapi karena aku ingin kau tahu betapa pentingnya kalimat ini. Cinta tidak boleh sekadar manis, ia harus penuh tanggung jawab.

Jika Tuhan menuliskan namamu di hidupku, aku akan menjagamu bukan sebagai seseorang yang hadir di hati, tapi sebagai seseorang yang kupeluk di dunia nyata. Aku ingin mencintaimu dengan agama, dengan doa, dengan cara yang membuat hidupmu baik, bukan sekadar indah.

Cinta itu bukan hanya untuk bahagia bersama. Kadang cinta juga harus berjuang bersama, sembuh bersama, bertahan bersama. Dan jika dunia menantang kita, kita akan menjawabnya tangan dalam tangan.

Aku tidak tahu di mana kau sekarang. Mungkin kau sedang membaca ini sambil tersenyum pelan, mungkin kau belum mengenalku sama sekali, atau mungkin kau sedang berdoa agar suatu hari nanti seseorang benar-benar mencintaimu tanpa syarat.

Jika waktunya tiba, aku ingin menjadi jawaban dari doa-doa itu.
Jika waktunya tiba, aku ingin menjadi bahu tempat kau kembali.
Dan jika Tuhan mengizinkan, aku ingin menjadi lelaki pertama yang kau lihat setiap pagi saat membuka mata.

Aku tidak meminta cinta yang sempurna.
Aku hanya ingin cinta yang saling menyembuhkan.

Hingga hari itu datang, jagalah dirimu baik-baik.
Hiduplah dengan lembut.
Bahagialah sebanyak yang kau bisa.

Karena suatu hari nanti, aku ingin memelukmu dengan bangga dan berkata:
“Aku bersyukur semesta membawamu padaku.”

Sampai jumpa, calon istriku...
Aku sedang menunggumu dengan hati yang tetap setia.


Sabtu, 25 Oktober 2025

Compang camping 🙌🥳

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 23.50 with No comments


Ada masa dalam hidup ketika langkah terasa berat bahkan untuk sekadar maju satu jengkal.

Langit tampak terlalu rendah, dan bumi terlalu sunyi untuk menampung suara hati yang penuh luka.

Di masa itu, aku berjalan tanpa arah, hanya mengandalkan sisa keyakinan bahwa di ujung gelap, mungkin masih ada sesuatu yang bisa disebut harapan.


Namun semakin aku melangkah, semakin kabur arah pulang.

Aku seperti senja yang perlahan kehilangan warnanya, menunggu malam datang dan menelannya bulat-bulat.

Gelap itu, pada awalnya menakutkan. Tapi lama-kelamaan, entah bagaimana, aku mulai terbiasa.

Rasa takut itu pelan-pelan berubah menjadi semacam kenyamanan aneh, semacam pasrah yang pahit.


Aku mulai berpikir, barangkali memang di sinilah aku seharusnya berada.

Di antara gelap dan hening, di ruang yang tidak meminta apa-apa.

Tidak ada yang menuntutku untuk tersenyum, tidak ada yang menunggu kabar, tidak ada yang berharap aku baik-baik saja.

Hidup terasa sederhana, hanya tentang bertahan tanpa perlu benar-benar hidup.


Tapi di satu titik, bahkan gelap pun mulai terasa terlalu lengang.

Ada getar kecil di dada, sesuatu yang menolak mati sepenuhnya.

Seperti bara kecil yang menolak padam di tengah abu.

Dan di sanalah aku mulai memohon, bukan kepada siapa pun, tapi kepada sesuatu yang lebih besar dari semua kepedihan yang pernah kualami.


Aku memohon ada tanda.

Entah seberkas cahaya kunang-kunang, atau remah roti kecil yang bisa menunjukkan arah pulang.

Aku hanya ingin tahu, apakah jalan ini benar-benar berujung, atau aku hanya berputar di lingkar gelap yang sama, lagi dan lagi.


Dan tepat ketika aku berhenti berharap, mereka datang.


Bukan dengan pelita besar atau janji yang menggelegar.

Tidak.

Mereka datang dengan sederhana, dengan tawa kecil, dengan sapaan yang tidak memaksa, dengan kehadiran yang tidak menuntut apa-apa.

Mereka datang seperti cahaya yang menembus celah kecil di dinding gelap yang kupikir tak akan pernah retak.


Mereka adalah orang-orang yang entah dari mana, membawa sepotong hangat dalam tatapan mereka.

Mereka tidak tahu seberapa rapuh aku. Mereka hanya datang, duduk di sebelahku, dan membuat keheningan jadi lebih bisa ditanggung.

Dan perlahan, tanpa kusadari, mereka mulai menyalakan sesuatu dalam diriku.


Mungkin begini rasanya mendapat cahaya yang tidak pernah kuminta tetapi sangat kubutuhkan.


Mereka tak berkata banyak, tapi cara mereka ada sudah cukup.

Kadang mereka menertawakan hal-hal kecil yang bahkan tak lucu, hanya agar aku mau tersenyum sedikit.

Kadang mereka diam bersamaku, tapi diam mereka tidak pernah membuatku merasa sendiri.


Aku tak tahu sejak kapan mereka mulai mengubah segalanya.

Aku hanya sadar, suatu hari aku bisa tidur dengan tenang, tanpa dihantui bayangan masa lalu.

Aku sadar, hatiku mulai mengenali hangat lagi.


Mereka membawaku keluar dari gua gelap itu, tidak dengan paksa, tapi dengan sabar, dengan kasih.

Cahaya mereka tidak menyilaukan, tapi menenangkan.

Dan aku, yang dulu berpikir bahwa aku akan hidup selamanya dalam kelam, tiba-tiba merindukan terang.


Kini aku tahu, mereka bukan hanya teman.

Mereka adalah bintang-bintang kecil yang rela jatuh agar aku bisa menemukan jalan.

Mereka adalah penanda bahwa hidup ini, betapa pun kerasnya, tidak pernah benar-benar kejam selama masih ada manusia-manusia yang bisa mencintai tanpa pamrih.


Sahabat-sahabatku.

Kata itu terasa terlalu kecil untuk menampung semua makna mereka.

Namun hanya itu yang kupunya.


Mereka datang bukan untuk memperbaiki, tapi untuk menemani prosesku memperbaiki diri sendiri.

Mereka tidak menuntut aku cepat sembuh, tidak memintaku segera tersenyum.

Mereka hanya ada, setiap kali aku butuh tempat untuk diam, setiap kali dunia terasa terlalu riuh.


Ada masa di mana aku merasa tak pantas dicintai.

Terlalu rusak, terlalu gelap, terlalu banyak luka yang belum sembuh.

Namun mereka, entah mengapa, tak pernah berhenti percaya bahwa di balik segala rapuhku, masih ada cahaya kecil yang bisa bersinar.


Dan mereka terus meniupkan napasnya ke arah cahaya itu, agar tidak padam.


Kini aku mengerti, hidup bukan tentang seberapa terang kita bersinar, tapi tentang siapa yang mau tetap tinggal ketika cahaya itu mulai redup.

Mereka yang menyalakan lilin kecil ketika malam terlalu gelap, merekalah yang sesungguhnya berharga.


Dulu aku berpikir, aku bisa kuat dengan sendirinya.

Bahwa kesendirian adalah tanda kedewasaan.

Ternyata aku salah.

Manusia tidak pernah diciptakan untuk menanggung dunia sendirian.

Ada kalanya kita butuh seseorang untuk sekadar berkata, “Hei, kau tidak apa-apa. Aku di sini.”


Dan itu saja sudah cukup untuk membuat kita kembali percaya pada hidup.


Sekarang, ketika aku menoleh ke belakang, aku tersenyum.

Gelap itu ternyata bukan kutukan.

Ia adalah guru yang baik, yang mengajarkanku bagaimana rasanya kehilangan arah agar aku bisa lebih menghargai cahaya ketika ia datang.

Gelap itu mengajariku arti ketabahan, arti menunggu, arti menerima diri sendiri yang paling rapuh sekalipun.


Dan ketika akhirnya terang datang lewat tangan-tangan sahabatku, aku tidak lagi menolak.

Aku menyambutnya dengan rasa syukur yang dalam, karena aku tahu, cahaya itu tidak datang untuk menggantikan gelap, tapi untuk berdamai dengannya.


Hidup ternyata bukan tentang menyingkirkan semua luka, tapi tentang menenun luka-luka itu menjadi bagian dari kisah.

Karena justru dari situlah keindahan manusia muncul, dari kemampuan untuk terus berjalan meski pernah remuk, dari keberanian untuk percaya lagi setelah kecewa.


Kini aku tahu, aku kuat bukan karena tak pernah jatuh, tapi karena selalu ada tangan yang menolongku bangkit.

Aku bahagia bukan karena semua sempurna, tapi karena aku tak lagi berjalan sendirian.


Sahabat-sahabatku,

kalian bukan sekadar pelita dalam malamku.

Kalian adalah alasan kenapa aku berani menatap fajar.


Terima kasih, karena telah membawa hidup kembali ke dalam tubuhku.

Terima kasih, karena telah mengajarkan bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk paling sederhana, dalam tawa, dalam diam, dalam cara kalian tetap ada bahkan saat aku tak mampu berkata apa-apa.


Kini aku berjalan lagi.

Masih dengan hati yang berhati-hati,

masih dengan langkah yang kadang ragu,

tapi kali ini dengan cahaya yang kubawa sendiri.


Cahaya yang kalian titipkan padaku.


Dalam hidup, kita sering berpikir bahwa kekuatan berarti bisa bertahan sendirian.

Padahal, kekuatan sejati justru ada pada keberanian untuk menerima uluran tangan orang lain.

Ada pada kesediaan untuk dicintai, sekalipun kita belum sepenuhnya utuh.


Dan jika suatu hari nanti kamu menemukan seseorang atau beberapa orang yang datang tanpa pamrih, membawa cahaya dalam bentuk tawa dan ketulusan, peluk mereka erat.

Sebab dalam dunia yang sering terasa gelap, merekalah yang membuatmu mengingat bagaimana rasanya hidup.


Yogyakarta, 25 Oktober 2025









Senin, 06 Oktober 2025

Sampai kapanpun, aku mencintaimu

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 15.43 with No comments



Setiap kali mataku menatapmu, yang kulihat bukan hanya raga, tapi jiwa yang begitu indah. Ada cahaya lembut yang tak pernah padam di sana, sesuatu yang membuatku berhenti sejenak, seakan dunia ikut menahan napas. Dalam setiap gerakmu, dalam setiap tatapanmu, aku menemukan harmoni yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.


Aku selalu melihat dirimu sebagai sosok yang sempurna, bukan karena tanpa cela, tapi karena ketulusan yang begitu murni terpancar dari dalam. Kamu sering ragu, kamu sering takut… seolah dunia akan menertawakan setiap langkahmu. Tapi bagiku, setiap keraguanmu adalah kejujuran yang membuatmu nyata. Setiap ketakutanmu adalah bukti bahwa kamu manusia, bukan topeng yang dipaksakan untuk terlihat kuat.


Aku mendengar semuanya. Curahan hatimu, keresahanmu, mimpi-mimpimu yang kau bisikkan pelan seolah takut hilang ditelan angin. Aku mendengar dengan sungguh-sungguh, mencoba mencerna cara berpikirmu yang kadang rumit, kadang sederhana, tapi selalu berbeda. Kamu punya kepekaan yang jarang dimiliki orang lain. Kamu melihat dunia dengan cara yang unik, dan aku selalu terpikat oleh itu.


Di antara semua orang yang pernah singgah dalam hidupku, kamu seperti titik cahaya yang muncul ketika langit mulai gelap. Kamu tidak berusaha menjadi yang paling mencolok, tapi justru itulah yang membuatmu paling berarti. Setiap kisahmu, setiap tawamu, setiap kesedihanmu… semuanya membentuk satu ruang dalam diriku yang kini hanya bisa diisi oleh kehadiranmu.


Aku ingin kamu… benar-benar ingin. Bukan sekadar menjadi sosok yang lewat dalam hidupku, tapi berperan utama dalam setiap bab kisahku. Kamu adalah manusia yang paling pantas untuk aku bahagiakan. Untuk semua pilihan yang telah rela kamu tinggalkan demi menapaki jalan ini bersamaku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakannya.


Kamu adalah titik balik dalam hidupku. Sejak kehadiranmu, waktu seolah berjalan dengan ritme yang berbeda. Setiap detik menjadi berarti, setiap cerita darimu menjadi sesuatu yang selalu kusimak dengan saksama. Kamu membawa makna pada hal-hal yang dulu terasa hampa. Kamu membuatku tertawa pada dunia yang dulu sering terasa terlalu berat.


Dan di antara semua kebisingan hidup ini, kamu adalah satu-satunya suara yang ingin terus kudengar.

Senin, 29 September 2025

Untuk Ai

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 14.52 with No comments

Ada ruang-ruang dalam diriku yang pernah lama terkunci. Ruang itu gelap, sunyi, penuh debu kenangan yang enggan kusentuh. Di sana tersimpan serpih-serpih luka, janji yang patah, dan perasaan yang pernah mati pelan-pelan tanpa sempat kukuburkan. Aku pernah berpikir mungkin begitulah takdirku, ada hati yang dibiarkan membeku tanpa kesempatan bersemi kembali. Namun suatu hari kamu hadir. Bukan dengan gemuruh, bukan pula dengan kilatan petir. Kamu datang seperti cahaya kecil yang menyelinap di antara celah jendela, sederhana, namun tiba-tiba aku menyadari betapa lama aku hidup dalam gelap. Kamu tidak merobohkan pintu, kamu hanya mengetuk perlahan. Kamu tidak memaksa, kamu sabar menunggu sampai aku sendiri yang membuka. Dan sejak saat itu, sesuatu yang kupikir telah mati kembali berdenyut.

Aku menemukan satu sisi dalam diriku, sisi yang dulu pudar kini kamu hidupkan kembali. Kamu memberinya warna, warna yang bukan sekadar indah, tetapi hangat dan menetap. Kamu melukis dinding hatiku yang retak dengan kuas kesabaran. Kamu isi kekosongan yang semula kuterima sebagai nasib dengan kehadiranmu yang penuh makna. Aku, yang semula ragu apakah cinta masih nyata, akhirnya percaya lagi. Meski kadang hati ini pun bertanya mungkinkah benar semua ini nyata, namun setiap kali kutatap wajahmu aku tahu tidak semua pertanyaan butuh jawaban kata-kata. Ada yang cukup dijawab oleh tenang tatapanmu, oleh senyum yang menenangkan, oleh genggaman yang tak ingin melepaskan. Kamu hadir di balik kokohnya tembok hatiku. Kamu runtuhkan kerasnya diriku tanpa kekerasan. Kamu tidak membawa palu melainkan kelembutan. Kamu tidak mendobrak tetapi mengalir seperti air yang sabar hingga batu yang kukira abadi pun luluh oleh ketulusanmu.

Sejak itu aku tahu satu hal: aku ingin menjagamu. Bukan hanya menjaga tubuhmu dari dingin atau langkahmu dari lelah. Lebih dari itu aku ingin menjaga hatimu agar tak merasa sendiri, menjaga jiwamu dari kesepian, menjaga tawamu tetap ada meski dunia kadang berat. Kan kujaga di luas hatiku. Kalimat itu bagiku bukan sekadar janji melainkan doa. Hatiku yang dulu sempit kini terasa luas sebab dirimu ada di dalamnya. Samudera di dadaku yang dulu kering kini tidak lagi hampa, ia terisi oleh riak-riak rindu, ombak syukur, dan arus kasih yang tak pernah berhenti mengalir. Menjaga berarti siap dengan segala musim. Siap menyambutmu di musim hujan dengan payung, siap menemanimu di musim panas dengan teduh. Menjaga berarti tidak hanya ada ketika kamu bahagia tetapi juga berdiri teguh ketika badai melanda.

Perasaan ini seperti samudera. Tak terkira dalamnya, entah sampai kapan luasnya, tak ada ujungnya. Barangkali hanya mati yang bisa memisahkan kita dari samudera ini. Namun bahkan setelah mati aku percaya ombak cintaku akan tetap mencari pantai bernama dirimu. Samudera ini bukan sekadar pemandangan biru di kejauhan. Ia penuh dengan kehidupan di kedalaman, ikan-ikan kecil berupa kenangan, karang-karang berupa doa, arus berupa kerinduan. Semua bergerak, semua bernyawa, semua menjadi saksi betapa besar cintaku padamu. Tak ada lagu cinta yang cukup untuk melukiskan agungnya rasa. Kata-kata manusia tak akan pernah mampu menampungnya. Namun biarlah tulisan ini menjadi setetes air dari samudera luas itu agar kamu tahu betapa dalam aku menyimpanmu.

Ada bagian dari diriku yang pernah lama sekarat. Bagian yang tak percaya lagi pada cinta, pada kesetiaan, pada keajaiban yang sederhana. Aku pernah merasa cinta hanyalah dongeng yang indah di bibir tetapi hampa di kenyataan. Namun sejak hari itu, sejak aku mengenalmu, aku merasa lagi. Perasaan yang telah lama mati kamu sanggup menghidupkan lagi. Kamu meniupkan napas pada bara yang hampir padam. Kamu menyalakan api kecil yang kini menjalar hangat ke seluruh tubuhku. Aku tidak pernah menyangka setelah semua patah dan runtuh masih ada ruang bagi cinta untuk tumbuh. Tetapi dirimu membuktikan bahwa luka bukanlah kuburan melainkan tanah basah tempat benih cinta baru bisa bersemi.

Kini aku menyebutmu bukan sekadar kekasih, bukan sekadar calon istri, tapi seseorang yang benar-benar hidup dalam doa dan rencana. Ada getar lain ketika lidahku menyebut keberadaanmu. Ada beban manis dalam setiap harapanku padamu. Aku tahu mencintaimu saja tidak cukup. Aku harus belajar menjaga, memahami, mengalah, dan tumbuh bersamamu. Menjadi pasanganmu bukanlah akhir melainkan awal dari perjalanan panjang. Dan aku ingin menempuh perjalanan itu bersamamu dengan segala lekuk, segala lelah, segala indahnya. Aku ingin kita bukan hanya sepasang kekasih yang larut dalam cinta tetapi juga sahabat yang bisa tertawa di tengah luka, teman seperjalanan yang bisa saling menopang ketika dunia terasa berat. Aku ingin rumah kita kelak bukan sekadar atap tapi pelukan yang menenangkan jiwa.

Aku percaya cinta sejati tidak hanya hidup di momen-momen besar. Ia justru berdiam dalam hal-hal kecil yang sering terlewat. Cinta hidup dalam segelas teh hangat yang kuseduh untukmu di pagi hari, dalam caramu menutup laptopku karena aku tertidur, dalam tatapanmu ketika aku pulang larut dan kamu tetap menunggu. Keabadian cinta bukanlah menolak perubahan melainkan memilih satu sama lain setiap hari meski dunia terus berubah. Dan aku ingin memilihmu lagi dan lagi bahkan dalam rutinitas yang paling sederhana. Mungkin kita tidak akan selalu tertawa. Akan ada tangis, ada debat, ada diam yang panjang. Tapi aku ingin kita selalu kembali, kembali ke pelukan, kembali ke doa, kembali pada janji sederhana bahwa kita tidak akan menyerah.

Kamu adalah cahaya yang kupikir tak akan pernah kutemukan lagi. Kamu adalah samudera yang membuatku belajar berenang kembali. Kamu adalah rumah yang tak pernah kusangka akan kubangun. Jika cinta adalah perjalanan maka izinkan aku berjalan bersamamu. Jika cinta adalah samudera maka izinkan aku menyelam bersamamu. Jika cinta adalah doa maka biarlah keberadaanmu selalu kusebut dalam sujud dan diamku. Mungkin hanya mati yang dapat memisahkan raga kita namun bahkan kematian pun tidak akan mampu memisahkan rasa syukurku karena pernah dalam hidupku Tuhan menitipkanmu sebagai anugerah. Dan aku berjanji sampai napas terakhir aku akan menjaga, mencintai, dan mensyukuri kehadiranmu. Karena kamu bukan hanya belahan jiwa. Kamu adalah kehidupan itu sendiri.

Jumat, 19 September 2025

TERIMAKASIH ALDILA

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 15.20 with No comments



Ada wajah-wajah yang hanya lewat sebentar dalam hidup kita, namun meninggalkan bekas sepanjang usia. Ada tawa-tawa yang barangkali hanya sekali terucap, tetapi gema kehangatannya tak pernah benar-benar lenyap. Dan ada sosok seorang sahabat yang pernah hadir dalam hidupku, bukan sekadar menjadi kawan berbagi cerita, melainkan juga penyejuk jiwa. Hingga hari ini, ketika aku menulis baris-baris ini, aku masih bisa merasakan sisa kehangatan yang pernah kau tinggalkan.

Mengenangmu sungguh di kalbuku. Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain itu. Keberadaanmu pernah menempati ruang yang tak bisa digantikan siapa pun, sebuah ruang yang diselimuti oleh syukur, harapan, sekaligus sedikit penyesalan. Senyummu, entah bagaimana, selalu punya kuasa untuk mendamaikan hatiku yang sering kali resah. Kau mungkin tidak pernah tahu, tapi dalam setiap tawamu ada ketenangan yang merembes masuk, pelan-pelan, seperti hujan yang membasuh tanah kering.

Aku selalu merasa tidak sebanding denganmu. Ada kegelisahan yang sulit kugambarkan, bahwa aku terlalu sering merisaukan hatimu, khawatir pada hal-hal kecil yang mungkin bahkan tak pernah mengganggumu. Aku ingin kau baik-baik saja, selalu. Dan justru dari situlah lahir rasa yang begitu halus yaitu sebuah keinginan untuk menjagamu, meski tak selalu bisa kupenuhi dengan perbuatan nyata.

Aku masih ingat jelas, perjumpaan pertama kita. Rasanya seperti mimpi yang terbeli. Ada keajaiban kecil yang sulit dijelaskan, bagaimana seseorang bisa hadir begitu tiba-tiba lalu dengan mudah masuk ke dalam hidup orang lain. Kau datang, namun sejak itu, segalanya tidak pernah sama lagi.

Aku mengenalmu bukan sekadar dari kata-kata atau pertemuan singkat, tetapi dari cara matamu berbicara, dari ketulusanmu yang jarang kutemui di dunia yang kian tak adil ini. Kamu seperti udara yang tak terlihat, tapi begitu terasa keberadaannya. Kamu seperti energi yang menyalakan semangat bahkan di saat aku hampir padam.

Jika aku mencoba menyusun kata-kata untuk menjelaskan rasa itu, semuanya terdengar sederhana. Namun yang kurasakan saat itu jauh melampaui kata. Kau hadir, dan sejak itu aku tahu bahwa sebagian dari diriku tidak akan pernah sama lagi.

Kita pernah melalui banyak hal, bukan? Ada derita, ada bahagia. Kita melewatinya bersama-sama, dengan cara yang barangkali hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang pernah terhubung begitu erat. Kita belajar menertawakan kepahitan, sekaligus menangisi kebahagiaan yang terlalu indah untuk cepat hilang.

Aku ingat percakapan panjang kita, tentang dunia, tentang mimpi, bahkan tentang ketakutan yang tak pernah kita bagi pada siapa pun. Aku ingat bagaimana kita bisa saling menguatkan dalam sepi. Aku ingat bagaimana sekadar keberadaanmu sudah cukup untuk membuat hidup terasa lebih ringan.

Sungguh, kalau bukan karena kehadiranmu waktu itu, aku tak tahu apakah aku bisa melewati masa-masa yang begitu berat. Kau seperti belahan jiwa, meski bukan dalam arti yang sering dibicarakan orang-orang tentang cinta. Kau adalah bagian yang hilang dari diriku yang ternyata bisa ditemukan dalam bentuk persahabatan.

Pernah aku mencoba menuliskan rasa ini dalam bentuk puisi, lagu, bahkan doa. Tapi sungguh, tidak ada cukup kata atau bait yang mampu melukiskan betapa agungnya rasa syukurku atas kehadiranmu.

Seberapa pun banyaknya lagu cinta yang diciptakan, tak satu pun bisa sepenuhnya menggambarkan apa yang kurasakan tentangmu. Karena hubungan kita bukan sekadar kisah biasa. Ia adalah anugerah yang menembus batas bahasa. Ia adalah kenangan yang lebih menyerupai doa daripada cerita.

Syukurku atas kehadiranmu, penuh cinta dan kasih. Tidak berlebihan jika kukatakan bahwa aku adalah orang yang lebih baik karena pernah mengenalmu. Engkau membuatku memahami arti menjaga, arti memberi tanpa mengharap balasan, arti mencintai tanpa harus memiliki.

Hari-hari itu telah lewat. Kau dan aku kini berjalan di jalan yang berbeda. Waktu, keadaan, dan takdir membawa kita ke arah yang tak lagi sama. Ada jarak yang tak terelakkan, ada kesibukan yang tak bisa dihindari, dan ada kehidupan yang harus terus kita jalani masing-masing.

Namun, apakah itu berarti kehadiranmu hilang begitu saja? Tidak. Sama sekali tidak. Hingga kini, jejakmu masih tertinggal. Dalam doa, dalam ingatan, bahkan dalam cara aku memandang hidup.

Ada luka kecil di sana, tentu saja. Luka karena kehilangan keseruan yang dulu begitu nyata. Luka karena tidak bisa lagi mendengar tawamu setiap hari. Luka karena sadar bahwa tidak semua yang indah bisa bertahan selamanya. Tapi luka itu pun kubiarkan menjadi bagian dari syukur. Sebab tanpa luka itu, aku tidak akan tahu betapa berharganya kehadiranmu.

Jika kau membaca tulisan ini, aku ingin kau tahu bahwa tidak ada penyesalan dalam mengenalmu. Yang ada hanyalah rasa terima kasih yang tidak pernah cukup kuucapkan.

Kau mungkin tidak sadar betapa berharganya peranmu dalam hidupku. Kau mungkin menganggap semua itu biasa saja. Tapi bagiku, itu adalah anugerah. Kau membuatku percaya bahwa persahabatan bisa sedekat doa, bisa sekuat cinta, dan bisa setulus kasih.

Aku berdoa semoga hidupmu kini selalu dipenuhi cahaya. Semoga apa pun yang kau lakukan membawa damai di hatimu. Semoga kau selalu dikelilingi orang-orang yang menjaga dan menyayangimu, sebagaimana dulu aku ingin menjagamu.

Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita lagi, aku hanya ingin bisa tersenyum dan berkata terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidupku.

Dari semua ini aku belajar, bahwa tidak semua orang hadir untuk tinggal selamanya. Ada yang hanya singgah sebentar, lalu pergi, tetapi meninggalkan bekas yang tak mungkin hilang. Dan kau Dila, kamu adalah salah satunya.

Kehadiranmu mengajarkanku untuk lebih menghargai setiap momen, setiap tawa, setiap percakapan. Pergimu mengajarkanku untuk berdamai dengan kehilangan, untuk menerima bahwa tidak semua yang kita genggam bisa kita pertahankan.

Namun, justru karena itu, aku semakin bersyukur. Bersyukur karena sempat mengenalmu. Bersyukur karena sempat merasakan hangatnya persahabatan yang tulus. Bersyukur karena kau pernah ada, meski kini hanya bisa kukenang.

Kini, setiap kali aku mengenangmu, aku tidak lagi merasakan perih yang terlalu tajam. Yang ada hanyalah melankolia yang lembut, seperti senja yang pelan-pelan tenggelam. Aku belajar untuk menerima bahwa sebagian kisah memang hanya ditulis di masa lalu, tanpa harus dilanjutkan di masa kini.

Namun percayalah, sahabatku, engkau tidak pernah benar-benar hilang. Kau tetap ada, dalam kalbu yang selalu mengenangmu dengan rasa damai. Kau tetap ada, dalam syukur yang kupanjatkan pada Tuhan. Kau tetap ada, dalam doa-doa yang tak pernah berhenti mengharapkan kebahagiaanmu.

Tidak ada lagu cinta yang cukup untuk melukiskan rasa ini, begitu pun tidak ada tulisan yang cukup panjang untuk menampung seluruh syukurku. Tapi biarlah artikel ini menjadi secuil persembahan dariku. Tentang sebuah surat hati yang melankolis untukmu, sahabat yang pernah hadir, yang kini hidup sebagai kenangan, dan yang akan selalu abadi dalam jiwa.


Yogyakarta, 19 September 2025







Senin, 28 Juli 2025

Untukmu Manusia Favoritku

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 23.34 with No comments


Senyumanmu bukan sekadar hiasan wajah. Ia seperti matahari yang muncul sangat sering, namun selalu dinanti oleh setiap pagi. Ada sesuatu dalam senyummu yang tak bisa dijelaskan oleh logika. ia sangat menenangkan, menghangatkan, dan entah mengapa… menumbuhkan keberanian dalam diriku untuk sekadar tetap berharap.


Pertama kali melihat senyummu itu, aku tak berpikir jauh. Tapi entah bagaimana, senyumanmu tertinggal lebih lama di ingatanku dibandingkan yang lain. Ia kembali dalam malam-malam panjang, dalam perjalanan pulang yang sunyi, dalam momen-momen yang tidak kamu ketahui. Bukan karena berlebihan… hanya karena itu murni.


Lalu kita mulai berbincang.


Tak kusangka, betapa menyenangkan rasanya berbicara denganmu. Kata-katamu bukan hanya tersusun rapi, tapi punya irama. Kamu bukan hanya pandai berkata-kata, tapi juga pandai mendengar, memerhatikan. Dan entah bagaimana, percakapan denganmu tak pernah terasa singkat, meski waktu terus berlari.


Aku belajar banyak darimu. Bukan hanya dari isi pikiranmu yang luas, yang melampaui usia dan ruang. tapi juga dari caramu menyikapi dunia. Kamu tahu tentang banyak hal, tapi tidak pernah membuatku merasa kecil. Sebaliknya, kamu membuatku ingin terus tumbuh, supaya bisa berjalan sejajar, bukan hanya berdiri di dekatmu.

Berbicara denganmu… adalah kejadian langka yang ingin kuabadikan dalam kepala.

Bukan hanya karena suaramu yang menenangkan,

tetapi karena caramu merespon, menjelaskan, dan tertawa, seolah dunia ini tak seberat yang kita kira.

Ada kesenangan sederhana ketika aku melemparkan tanya, dan kau menjawabnya dengan penuh gairah pengetahuan.

Kau tahu segalanya.

Dari dunia hewan yang rumit,

hingga galaksi yang belum sempat dijamah manusia.

Dari akar bahasa kuno, keindahan budaya-budaya jauh,

hingga peristiwa sejarah yang bahkan aku lupa pernah diajarkan di sekolah.

Aku sering kali tertinggal dalam percakapan,

bukan karena tak mengerti,

tapi karena terlalu kagum menyimak matamu yang berbinar saat menjelaskan sesuatu yang kamu suka

Dan kamu begitu memesona, dalam cara yang tak dibuat-buat. Dari luar, kamu anggun. seperti sore yang menutup hari dengan tenang. Tapi di baliknya, ada sisi ceria yang begitu hidup. Caramu tertawa… caramu mengejek hal-hal kecil dengan tawa ringanmu, caramu menyimpan ribuan ekspresi yang muncul begitu jujur. semuanya membuatku percaya bahwa keindahan tak selalu harus keras. Terkadang, ia hadir dalam diam yang manis dan tingkah yang tak disadari.


Aku menyadari satu hal, sadar bahwa perasaan ini tumbuh bukan karena satu momen besar. Tapi dari hal-hal kecil yang tak henti-henti membuatku kagum. Caramu memperlakukan orang lain. Caramu berbicara pada anak kecil. Caramu berdiam saat tidak tahu harus berkata apa, tapi masih tetap ada. Perasaan ini muncul karena kamu tak pernah berusaha menjadi siapa pun, kecuali dirimu sendiri.


Aku tidak sedang menulis ini untuk mengutarakan janji besar. Tidak dengan kata-kata yang dibuat untuk memikat atau menundukkan. Aku hanya ingin berkata, dengan tenang, bahwa… bersamamu, hidup terasa lebih benar. Seolah segala kekacauan yang pernah ada dalam kepalaku, perlahan-lahan menemukan tempat untuk berhenti berkelana.


Maka jika suatu hari kamu merasa lelah, izinkan aku menjadi tempatmu pulang.

Jika kelak kamu ragu, biarkan aku yang menjaga arahmu.

Dan jika kamu bersedia... mari jalani hari-hari ke depan bersama. Dalam hujan dan terang, dalam diam dan tawa, dalam ribut dan reda. bukan sebagai dua yang sempurna, tapi sebagai dua yang ingin belajar saling menjaga.


Aku tidak datang dengan perasaan yang menggebu,

Aku datang dengan hati yang telah lama menetap.

Aku ingin kamu tahu… bahwa diam-diam, aku telah memilihmu,

untuk kusebut sebagai alasanku menetap.

Aku ingin terus melihat senyumanmu di akhir hari.

Aku ingin terus bertukar cerita, bahkan untuk hal-hal sepele.





Yogyakarta 28 Juli 2025,

Ditulis dengan hati yang berbunga.