Selasa, 06 Oktober 2020

Selepas Ashar 2

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.26 with No comments

Posted By : Amanat Dirgantara 


2.

SULIT

            Budi mengemudikan mobilnya, mengantar gadis yang sedang rapuh itu menuju rumahnya. Fatimah dengan pandangan kosong terus meneteskan air mata. Ia tak menghiraukan apa yang sedari tadi Budi katakan.

            “Mba, sudah dong. Itu muka sudah kucel banget,” ucap Budi.

            Tiba-tiba Fatimah menoleh ke arah lelaki yang duduk di kursi pengemudi tersebut. “Bud, turunkan saya di sini saja. Kamu ada siaran kan sebentar lagi. Jangan sampai kamu bernasib sama seperti saya.”

            “Tapi aku tidak bisa meninggalkan Mba dengan semua barang ini begitu saja.”

            “Saya akan cari taxi atau … gampanglah!” ucap Fatimah sedikit meninggi.

            “Jangan galak-galak Mba, saya kan cuman ingin membantu.”

            Fatimah pun terdiam dan menurut saja dengan keinginan Budi. Tak lama setelah itu, mobil yang mereka tumpangi tiba di depan rumah Fatimah. Budi bermaksud membawakan barang-barangnya, namun ditahan oleh Fatimah.

            “Enggak usah Bud, saya kuat bawa ini. Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai sini, sekarang kamu harus cepat kembali ke kantor.”

            Ketika kesedihan melanda manusia, perasaan itu memang Allah ciptakan agar kita sadar. Sadar bahwa masa depan yang cerah ada di tangan Allah. Berbahagialah, jangan biarkan kesedihan itu membuat dirimu hancur.

 

            Gadis itu mencoba menekan kesedihannya dengan sekuat tenaga. Di waktu magribnya, dia keluhkan semua masalahnya kepada yang kuasa. Tangisannya terdengar hingga keluar kamar.

 

            Mendengar tangisan itu, ibunya segera masuk ke kamar anak perempuannya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Fatimah melihat ibunya menghampiri dirinya, langsung ia peluk tubuh yang mulai menua itu.

“Anak Ummah, kalau mengadu sama Allah pasti ada sesuatu yang enggak bisa diomongkan ke Ummah,” ucap sang ibu.

            “Ummah, Fat..ti..mah minta ma..af,” jawabnya terbata berbarengan dengan tangisan.

            “Ruang maaf Ummah selalu terbuka lebar, bahkan lebih lebar dari alam semesta ini Fat.”

            Ibunya membelai lembut pipi tirus itu, menghapus air matanya. Berusaha untuk menenangkan hati sang anak yang sudah beranjak dewasa.

 

            Fatimah terus memeluk ibunya, tidak ingin ia lepaskan walau hanya sedetik. Sang ibu pun dengan sabar menunggu anaknya tenang terlebih dahulu, sesaat setelah tangisan itu berhenti Fatimah menjelaskan apa yang telah terjadi.

            “Ummah, Fat dipecat,” ucapnya.

            “Setiap pemecatan pasti ada alasannya, memang apa yang kamu lakukan, Nak?” tanya sang ibu mencari sebuah kejelasan.

            “Fat hanya menjalankan apa yang Abah katakan.” Wajahnya mendongak ke atas, menatap wajah ibunda yang sedari tadi tersenyum namun mengeluarkan air mata.

            Ammar ma’ruf nahi munkar. Abah selalu berkata seperti itu, bahkan kepada Ummah. Memang ada kemungkaran apa di kantor sehingga kamu menjauhinya?” tanya sang ibu.

            “Fatimah hanya menjalankan ibadah, di mana itu adalah kewajiban bagi Fat tapi bu Sisca tidak menganggap seperti itu. Ia menyebut itu hanya hal sepele. Kemudian, Fat menolak bekerja untuk siaran acara gosip hingga akhirnya Fatimah dipecat.”

            “Jika yang kamu lakukan benar, lantas kenapa Fat menangisi apa yang terjadi?”

Dia hanya terdiam mendengar pertanyaan ibunya, sebuah pertanyaan yang logis memang. Tapi, dirinya tetap merasa bersalah dan menyesali apa yang terjadi.

 

            “Fat merasa dunia ini terlalu kejam, Ummah. kebenaran yang Fat lakukan belum tentu benar di mata orang lain.”

            “Itu yang dinamakan sudut pandang,” sembari mengambil sebuah buku. Ibunya memperlihatkan kepada Fatimah.

“Apa yang kamu lihat, Fat?” Dia memperhatikan sekilas apa yang ia lihat.

            “Buku,” jawab Fatimah jelas.

            “Coba lebih detail lagi,” ucap ibunya.

            “Cover buku, ada gambar pesawatnya. Kemudian, ada awannya,” jawabnya.

            “Kalau begitu, pandanganmu berbeda dengan Ummah. Ummah hanya melihat sebaris putih, di mana itu hanyalah lembaran kertas. Itulah yang dinamakan sudut pandang. Fat melihatnya dari depan, maka yang terlihat adalah cover sedangkan Ummah hanya melihat bagian sampingnya saja. Sehingga yang terlihat hanyalah tumpukan lembaran kertas,” jelas sang ibu.

            Fatimah mengangguk paham. Semua orang memiliki pendapatnya masing-masing tergantung dari sisi mana dia melihat kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupannya.

            “Rezeki itu sudah Allah atur untuk kita Fat, bersabarlah, dan Ummah akan selalu mendukungmu.”

            “Terima kasih Ummah,” ucap Fatimah.

Ummah menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Ya sudah, Ummah mau siap-siap salat isya dulu. Pikirkan apa yang harus kamu lakukan setelah ini.”

            Suara azan terdengar, Fatimah sesegera mungkin bersiap-siap untuk menuju ke masjid di dekat rumahnya agar bisa melaksanakan salat berjamaah.

            Setelah ia melaksanakan salat berjamaah, dia lanjutkan dengan zikir kemudian menadahkan kedua tangannya.

            Ya Allah, aku adalah seorang hamba. Hamba yang memohon pertolongan-Mu, berikanlah petunjuk dan ridhailah setiap langkahku.

            Seperti biasa, dia selalu percaya bahwa malaikat akan mengaminkan doanya. Dia pun percaya untaian doa itu melingkar dan terpanjat menembus langit malam, di antara bintang-bintang yang bertebaran.

            Gadis itu pulang ke rumah dengan hati yang sudah mulai tenang. Bebannya seakan diangkat oleh sang maha kuasa, yang dia rasakan hanya perasaan nikmat yang entah dari mana datangnya.

            Malam itu, di ruang makan, Fatimah dan sang ibu bercengkrama berdua.

            “Ummah ada teman yang bekerja di perusahaan tekstil dan pakaian. Kalau Fat mau, nanti Ummah coba hubungi teman Ummah.” Sang ibu membuka percakapan.

            “Tak perlu Ummah, nanti Fat cari pekerjaan sendiri. Insya Allah Fat masih bisa cari sendiri,” jawabnya.

            Setelah makan malam, Fatimah beranjak menuju kamarnya, mempersiapkan diri untuk tidur. Dia mengambil sebuah kain yang terlipat di atas bantalnya. Lalu, dengan kain itu ia mengibas tempat tidurnya seperti yang dianjurkan Rasulullah. Setelah itu, Fatimah berbaring di atas kasurnya. Mata perempuan itu tiba-tiba terfokus pada foto-foto yang terpajang di dinding kamar. Foto saat dia masih bekerja. Air matanya pun kembali jatuh mengenang masa lalunya. Kemudian, tanpa tersadar gadis itu akhirnya tertidur.

            Dalam tidurnya, Fatimah memasuki alam bawah sadarnya. Dirinya bermimpi sedang bersujud di atas tanah namun sangat dekat dengan langit. Dari kejauhan horizon cakrawala, terlihat gunung Merapi dengan gagahnya berdiri.

            Ketika ia sedang menikmati pemandangan Merapi, dirinya merasakan ada yang menepuk pundaknya. Namun, saat ia menoleh, tidak ada orang di sana. Hanya terdapat sebuah tulisan di pasir, “Aku menunggumu.

            Fatimah terbangun dari tidurnya, terdengar suara azan subuh menggema. Seperti biasa, dia membersihkan diri dan bersiap untuk salat subuhnya.

            Seusai dia melaksanakan salat dan berdoa, dia beranjak dari kamarnya lalu menuju ruang kerja almarhum ayahnya. Mimpinya yang tadi membuatnya teringat masa-masa ketika ia masih aktif mendaki gunung. Kegiatan yang sudah lama memang dia tinggalkan.

           

            Terakhir kali dia mendaki adalah ketika berhasil menaklukan Ciremai di Jawa Barat sekitar satu tahun yang silam. Dia duduk di meja kerja ayahnya, seolah meminta izin kepada sang ayah untuk mendaki lagi.

            Fatimah mengemasi barang-barangnya untuk beberapa hari ke depan. “Baju, SB, matras, tenda, kaos kaki, sendal, senter, kompor, gas, alat makan, jas hujan, pisau, korek,” ia mengabsen satu per satu perlengkapan mendaki gunungnya.

            Dikala sarapan pagi, ia sedang berbincang dengan ibunya yang memang juga ikut sarapan dengannya.

“Buburnya mau tambah?” tanya ibunya.

“Cukup Ummah,” jawabnya.

“Oh iya Ummah, Fat mau izin beberapa hari. Hitung-hitung mau menenangkan diri, lelah melihat kekumuhan di sini,” lanjutnya.

“Mau ke mana?” tanya sang ibu, sebenarnya beliau sudah tahu maksud dari Fatimah. Hanya saja ia ingin tahu gunung mana yang akan dituju.

“Merbabu, Ummah,” jawabnya singkat.

Sebenarnya sang ibu sangat takut dan ingin tidak mengizinkannya. Namun, jika dilihat dari keadaan kemarin, mungkin ini akan menjadi salah satu terapi bagi Fatimah yang sedang rapuh.

Ibunya kemudian pergi dari meja makan, menuju kamar kemudian kembali ke meja makan.

“Pakailah ini,” sang ibu memberikan syal.

“Fatimah sudah punya ini Ummah,” ucapnya.

“Syal ini diberikan oleh Abah kepada Ummah, saat Ummah kedinginan di puncak Merbabu.”

Fatimah terkejut mendengar itu, dia tidak mengetahui bahwa ibu dan ayahnya pernah mendaki gunung  tersebut.

“Ummah pernah ke Merbabu?” tanya Fatimah keheranan.

“Akan Ummah ceritakan saat kau sudah pulang. Kembalilah dengan selamat Fat.”

Mendengar ucapan itu, Fatimah semakin yakin untuk mendaki lagi. Terkadang dia harus memohon-mohon terlebih dahulu agar diizinkan.

Semasa Fatimah aktif menjadi seorang pendaki, dia berhasil menaklukan beberapa gunung. Diantaranya adalah gunung Kerinci di Sumatera, Semeru di Jawa Timur, Gunung Slamet dan Sindoro-Sumbing di Jawa Tengah.

Dengan persiapan yang sudah matang, Fatimah bersiap untuk berangkat. Namun, melihat jam sudah menunjukan pukul tiga sore, Fatimah memutuskan untuk melaksanakan salat ashar terlebih dahulu.

“Ya Allah, berikanlah keselamatan untukku. Di pendakian kali ini, aku lakukan untuk lebih dekat denganmu. Dalam setiap helaan napasku, kulantunkan zikir untukmu, lindungilah perjalananku.”

Selepas ashar, Fatimah yang sudah siap akhirnya berpamitan dengan sang ibu.

“Fat berangkat dulu Ummah, doakan keselamatan Fat.”

“Hati-hati Fat, jangan lupa Ammar Ma’ruf Nahi Mungkar,” ucap sang ibu.

“Baik Ummah, Assalamualaikum,” jawab Fatimah sambil mencium tangan ibunya.

“Waalaikumussalam.”

Suara hiruk-pikuk keramaian terminal adalah sebuah hal yang biasa di Cicaheum, Bandung. Bus yang membawa mereka akan berangkat kurang lebih pukul setengah lima sore.

Fatimah melangkahkan kakinya, bertemu dengan seorang kernet.

“Permisi, masih ada kursi Pak di dalam?” tanya gadis itu.

“Aya Neng, badé kamana atuh?” jawab sang kernet.

“Gimana Pak?” tanya Fatimah bingung. Walaupun dia sudah tinggal di Bandung cukup lama, namun ia belum bisa juga mengerti bahasa Sunda.

“Kursinya ada, mau ke mana?” jelas kernet itu.

“Oooh, mau ke Magelang Pak,” jawabnya sambil tersenyum.

“Bisa, bisa. Masuk aja Neng, bayarnya di dalam aja nanti.”

Tas keril yang sedari tadi Fatimah kenakan akhirnya dapat dilepas juga. Kemudian ditaruh ke bagasi bus, gadis itupun naik kemudian duduk di samping jendela. Tak lama setelah dia naik, seorang perempuan yang seumuran dengannya duduk disampingnya.

“Assalamualaikum,” ucap perempuan itu.

“Waalaikumussalam,” jawab Fatimah.

“Boleh saya duduk disampingmu?”

Fatimah membereskan tas kecilnya yang dia taruh di kursi sampingnya.

“Humaira,” ucap perempuan itu sambil mengulurkan tangannya.

“Fatimah,” balas Fatimah sambil menggapai uluran tangan dari Humaira.

Perkenalan yang singkat, hanya itu saja yang terjadi pada perbincangan mereka kala itu. Humaira langsung menutup telinganya dengan headphone dan kemudian tertidur.

Bus berangkat dari Cicaheum menuju tempat yang ingin dituju oleh para penumpang. Perjalanan Fatimah cukup memakan waktu, bisa diperkirakan tujuh hingga delapan jam.

 

Demi membunuh waktu, dia habiskan dengan membaca sebuah buku. Buku sirah sahabat nabi yang dia ambil dari ruang kerja ayahnya. Kebetulan malam itu dia sedang membaca kisah Zubair bin Awwam, seorang panglima perang yang berani melawan puluhan ribu pasukan lawan sendirian.

Kisah itu kebetulan mirip sekali dengan yang dialami oleh Fatimah. Di mana saat itu dia harus melawan rasa takutnya mendaki gunung sendirian. Dia memilih solo hiking karena rekan-rekannya sedang bekerja dan tidak memiliki waktu luang. Ditambah lagi perasaan Fatimah yang tidak karuan, mengharuskan dia sesegera mungkin menghilangkan perasaan itu.

Pukul setengah satu dini hari, bus berhenti di Magelang seraya menyuruh para penumpang untuk beristirahat. Fatimah yang sedari tadi kelaparan akhirnya beranjak pergi dari bus karena memang dia sudah sampai ke tujuan.

“Fat, aku ikut,” ucap Humaira yang terbangun dari tidurnya.

“Turun di Magelang juga?” tanya Fatimah.

“Iya, aku mau ke Suwanting,” jawabnya.

 “Kebetulan sekali. Aku juga ke Merbabu melalui jalur itu, kamu mendaki juga?”

“Tidak Fat, aku hanya mendokumentasikan kegiatan para pendaki saat di basecamp Suwanting.”

 

“Beruntung sekali aku, paling tidak ada teman hingga sampai ke basecamp.” Padahal rencananya malam itu Fatimah ingin bermalam dulu di terminal hingga subuh. Namun, karena Humaira memiliki tujuan yang sama, dia urungkan niat itu dan berencana untuk langsung menuju basecamp malam itu juga.

“Kita makan dulu saja, aku tahu tempat yang jual gudeg magelang paling enak di sini,” ucap Humaira.

Kedua perempuan itu berjalan meninggalkan terminal, cukup jauh hingga sampai pada suatu rumah makan. Walaupun sudah hampir pukul setengah dua, tempat itu tetap ramai didatangi oleh pelanggan.

Humaira tidak menyia-nyiakan moment ini, dia keluarkan kamera DSLR nya untuk mengambil gambar dan take video. Terlihat Fatimah canggung sekali saat kamera mengarah padanya, dia berlari masuk ke dalam rumah makan itu.

“Permisi Bu, pesan es teh manisnya dua,” ucap Fatimah tergesa-gesa.

“Eh bentar, kok es teh?” sanggah Humaira.

“Maaf Bu, teh hangat maksudnya.” Fatimah memperbaiki pesanan.

“Oke Mba,” ucap ibu-ibu penjual gudeg itu.

Dengan tubuh kurus dan baju lusuhnya, ibu itu membawakan gudeg dan teh hangat kepada mereka berdua. Tangannya gemetar saat mengangkat gelas itu.

            Fatimah dan Humaira tak sanggup untuk menyaksikan itu, akhirnya dengan senang hati mereka membawa sendiri gelas dan piring yang berisi gudeg itu.

       “Beneran, enak sekali gudeg ini,” ucap Fatimah.

       “Sudah aku bilang, tempat ini legendaris. Makanya tempat ini tetap ramai walaupun sudah tengah malam seperti ini.”

       “Oh iya, masalah tadi. Dokumentasi, kamera dan wawancara. Kamu seorang wartawan?”

            “Bukan, aku sedang merintis menjadi seorang content creator. Mulai dulu lah dari hal-hal bebas seperti ini, sebelum menjadi konsep yang jelas.”

            “Kamu punya akun youtube?”

“Punya, hanya saja subscribernya hanya ibuku dan … tetangga mungkin,” jawab Humaira. Mendengar jawaban itu, mereka berdua tertawa sangat lepas. Mereka seperti sepasang manusia yang sudah bersahabat sejak kecil, padahal pada kenyataannya mereka baru bertemu sekitar 10 jam yang lalu.

“Pekerjaanmu apa Fat?” tanya Humaira.

“Sekarang aku pengangguran, kemarin aku adalah seorang asisten produksi di Oval TV,” jawabnya.

“Resign?”

“Aku dipecat.”

“Oh, maaf kalau aku menyinggung,” ucap Humaira menyesal.

“Tidak apa-apa, aku memang berbeda jalan dengan mereka. Mungkin aku yang salah, entahlah. Makanya sekarang aku ingin memperbaiki sudut pandangku lagi,” jawab Fatimah sambil tersenyum.

“Bagaimana jika kamu menjadi host, collab bareng gitu. Siapa tahu nambah viewers.”

Fatimah hanya mengangguk, kemudian tertawa sejadi-jadinya. Sungguh tak pernah terpikirkan olehnya. Rencana awalnya adalah mendaki namun tiba-tiba menjadi seorang host.

Seusai mengisi perut dan tenaga, mereka melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Namun, ternyata tidak ada satupun kendaraan yang bisa mereka tumpangi untuk ke sana.

“Permisi Bu, mau bertanya. Untuk ke Suwanting pakai apa ya Bu?” tanya Fatimah.

“Bisa pakai taxi online Mba, jam segini belum ada angkot. Atau kalau mau, Mba nya berdua tidur dulu di sini. Menunggu angkot besok hari,” ucap si ibu penjual gudeg.

“Gimana Fat?” tanya Humaira.

“Tetap lanjut malam ini saja, aku harus jalan besok pagi. Kalau agak siangan sudah mulai panas,” jawabnya.

Akhirnya mereka memutuskan untuk menaiki sebuah taxi online. Cukup lama mereka menunggu mobil itu datang, sampai akhirnya sebuah taxi berhenti di depan mereka. Seorang pria paruh baya dengan jaket lusuhnya menghampiri mereka berdua.

 

Matanya merah, berkantung dan berwarna hitam. Bertanya kepada mereka.

“Benar dengan Ummu Hasnah?” tanya bapak itu.

“Iya, benar Pak,” jawab Fatimah.

“Sejak kapan namamu Ummu Hasnah?” Humaira keheranan.

“Itu nama penaku.”

“Oalah, bilang dong.”

Setelah meletakkan Tas kerilnya dibagasi, Mereka melesat pergi menuju basecamp Suwanting. Di tengah perjalanan Ira menghidupkan kameranya dan mulai merekam kegiatan mereka.

“Hai, Assalamualaikum guys! Aku Humaira dan kali ini, petualanganku enggak sendirian karena hari ini aku ditemani sama Fatimah,” ucap Ira sambil mengarahkan kameranya pada Fatimah.

Fatimah tak lagi malu-malu, “Assalamualaikum teman-teman,” ujarnya.

“Sekarang kita sedang berada di Magelang nih! Rencana mau ke Merbabu via Suwanting. Tapi, aku enggak ikut naik, cuma Fatimah saja,” ucap Ira.

“Setelah ini mau ngapain kita Fat?” lanjutnya mewawancarai Fatimah.

 

“Ini sudah jam setengah empat, mungkin sampai basecamp mau bersih-bersih dulu. Salat, terus packing ulang barang-barang yang mau disiapkan untuk naik ke Merbabu,” jawabnya sambil menjelaskan.

“Fatimah, sudah berapa kali nih naik gunung? Aku juga penasaran, apalagi penonton nih,” ujar Ira.

“Kalau mendaki gunung, tiga tahun terakhir sudah lima kali. Kerinci, Slamet, Sindoro, Sumbing dan yang paling terbaru itu gunung Ciremei hampir satu tahun yang lalu.”

“Waaah! Lumayan juga jam terbangnya Mba Fatimah ini pemirsa. Untuk pendakian Merbabu kali ini dengan siapa nih?”

Sambil tersenyum, Fatimah menjawab, “Sendiri.”

Seketika, Ira menutup kameranya. Kemudian, perempuan itu menatap wajah Fatimah secara saksama. Cukup lama ia menatapnya.

“Kamu serius sendirian?” Ira tiba-tiba menjadi khawatir.

“Iya, tenang saja. Aku sudah biasa mendaki gunung dan aku yakin pasti ada rombongan lain yang mendaki. Aku bisa ikut rombongan itu.” Fatimah mencoba membuat Ira tenang.

Taxi itupun berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Bertuliskan “Selamat Datang Di Basecamp Pendakian Merbabu Via Suwanting”. Mereka berdua turun dari mobil, kemudian mengambil barang-barang di bagasi.

“Berapa Pak?” tanya Fatimah.

“150 ribu Mba,” jawab bapak itu.

Fatimah merogoh dompetnya dan memberikan uang 200 ribu.

“Ambil saja kembaliannya Pak. Tolong doakan keselamatan saya selama pendakian,” ucapnya.


"Jagalah diri kalian dari neraka meskipun hanya dengan sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tak mendapatkannya, maka ucapkanlah perkataan yang baik." (HR. Bukhari no. 1413, 3595).


Selasa, 01 September 2020

Selepas Ashar 1

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 10.22 with No comments

 

PROLOG

Sebuah kota yang penuh sesak dengan kesibukan masing-masing individunya, membuat lingkungan benar-benar kumuh dan tidak terawat. Namun, di ujung jalan pinggir kota terdapat sebuah musala kecil yang terlihat sangat rapi dan indah jika dipandang. Di sana lah terdengar seruan dari sang pencipta untuk umat agar segera melaksanakan salatnya.

Gema Azan berbunyi dari ujung jalan itu hingga ke sebuah perusahaan stasiun televisi di kota tersebut. Dikala para pegawai masih sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, seorang asisten produser bernama Fatimah memilih untuk meninggalkan meja kerjanya.

Gadis itu berjalan menuju musala, dengan sedikit melompat-lompat menghindari genangan air di jalan setelah hujan mendera kota tersebut. Fatimah adalah karyawan baru di perusahaan tersebut, sebulan yang lalu tepatnya.

Di saat Fatimah sedang menjalankan salat asharnya, seorang wanita paruh baya datang ke ruang produksi.

“Ke mana Fatimah?” tanya Sisca sang produser.

“Anu Bu, sedang salat,” jawab Budi yang bekerja sebagai tim kreatif.

“Setelah dia pulang, suruh temui saya!”

“Baik Bu.”


1.

DEMI WAKTU ASHAR

 

Apa yang menjadikan manusia senantiasa lalai atas perintah tuhannya. Sekuat apa kita tanpa DIA? Hei, sudah merasa diri paling hebat kah kita?  Kau tahu, dunia ini fana kawan. Dikeabadian kelak, semua yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan.

 

Fatimah menadahkan kedua tangannya. Kemudian, terucap kata memohon ampun dan meminta agar setiap langkahnya selalu berada dalam keridhaan-Nya. Ia selalu percaya jika setiap dirinya berdoa, maka malaikat pun ikut berdoa hingga doa yang dipanjatkan melesat dan menjangkau Arasy di mana tempat Allah swt berada.

 

“Aaamiiin,” sebuah kata memohon agar doa dikabulkan terucap dari mulut gadis itu.

 

Dengan langkah perlahan, Fatimah pergi meninggalkan musala tersebut. Bau-bau tanah yang terkena hujan pun mendera hidungnya. Aroma alami yang terjadi oleh proses yang luar biasa. Seolah tuhan menjawab doanya, setiap langkahnya terasa sangat ringan tidak ada beban hingga ke kantornya.

 

Suara keyboard komputer berpacu dengan jari terdengar di meja kerja Fatimah, seorang lelaki muda datang menghampirinya.

“Permisi Mba Fat, tadi ibu Sisca menyuruh Mba untuk menemui beliau ke ruang kerjanya,” ucap Budi.

“Baik, terima kasih Budi.”

Fatimah pergi dan mengetuk pintu ruangan Sisca, “Masuk,” ucap wanita paruh baya itu.

“Selamat sore, Bu,” ia melanjutkan, “Ada apa Ibu mencari saya?”

“Kamu ikut saya setelah ini buat handle tayangan gosip sore live, Citra yang akan gantikan tugas kamu untuk editing dan raughcut untuk siaran berita pagi.”

Hati Fatimah bak tersambar petir di siang bolong. “Acara gosip?” batinnya bertanya-tanya.

“Maaf Bu, tapi bisakah saya tukar jobdesk dengan Citra?” ucap gadis itu memohon.

“Kenapa? Apa karena ini acara gosip?” tanya Sisca.

“Maaf Bu, namun salah satu alasannya adalah itu. Kemudian, saya juga lebih cocok untuk handle siaran berita.”

“Yang menentukan cocok tidaknya kamu adalah saya!” Sisca menjawab dengan nada meninggi.

 

 

Fatimah menunduk tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Ada beberapa catatan kesalahan kamu dan itu semua paling banyak terjadi di waktu sore. Kamu sering menghilang dengan alasan sedang melaksanakan salat.” Amarah Sisca tak dapat lagi terbendung.

 

“Tapi saya benar-benar salat ashar, Bu. Saat sore memang semua pekerjaan saya sudah selesai dan salat itu bukanlah sebuah alasan bagi saya. Itu kewajiban,” jawab Fatimah dengan nada bicara yang ikut meninggi.

 

“Baik, baru kali ini saya dibentak oleh karyawan baru hanya karena hal sepele sepert ini.”

 

“Hal sepele? Ibu menyuruh saya untuk ikut handle siaran gosip sore, itu hal sepele?”

           

            Keduanya sama-sama saling menatap antara satu dan yang lainnya. Nafas mereka memburu. Fatimah telah lupa dengan siapa dia berhadapan, dan Sisca? Dia pun sudah kadung emosi dan tak dapat mengendalikannya.

            “Tutup pintu itu dari luar dan jangan pernah lagi kembali ke sini!” Kini amarah Sisca sudah sampai pada puncaknya.

 

            Mata Fatimah seketika terbelalak usai mendengar kalimat itu. Hatinya seperti tercabik. Perasaannya terenyak seperti jatuh dari ketinggian. Jiwanya meronta-ronta hingga dia menghinakan diri memohon dikasihani.

 

            Namun, Sisca sudah terlanjur kalap dan tutup mata akan semua yang terjadi. Apapun yang diucapkan oleh gadis itu sudah tidak berarti lagi baginya. Kini, Sisca hanya memalingkan wajahnya, seolah menolak sebuah permohonan dari Fatimah.

 

            Dengan langkah gontai, Fatimah keluar dari ruangan Sisca. Otaknya dipenuhi dengan rasa penyesalan dan timbul ribuan tanya dalam hatinya. Begitu kejamkah kehidupan ini? Hanya karena dirinya ingin melaksanakan sesuatu yang baik, dirinya harus menerima kenyataan bahwa dia telah kehilangan pekerjaannya.

 

            Batinnya yang terguncang sudah tak lagi mampu menopang pikirannya yang kalang-kabut. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengemasi barang-barangnya. Budi yang melihat kejadian itu pun tak mampu berkata-kata. Dia hanya terdiam dan menyaksikan ketidakadilan akan dunia.