Senin, 28 Juli 2025

Untukmu Manusia Favoritku

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 23.34 with No comments


Senyumanmu bukan sekadar hiasan wajah. Ia seperti matahari yang muncul sangat sering, namun selalu dinanti oleh setiap pagi. Ada sesuatu dalam senyummu yang tak bisa dijelaskan oleh logika. ia sangat menenangkan, menghangatkan, dan entah mengapa… menumbuhkan keberanian dalam diriku untuk sekadar tetap berharap.


Pertama kali melihat senyummu itu, aku tak berpikir jauh. Tapi entah bagaimana, senyumanmu tertinggal lebih lama di ingatanku dibandingkan yang lain. Ia kembali dalam malam-malam panjang, dalam perjalanan pulang yang sunyi, dalam momen-momen yang tidak kamu ketahui. Bukan karena berlebihan… hanya karena itu murni.


Lalu kita mulai berbincang.


Tak kusangka, betapa menyenangkan rasanya berbicara denganmu. Kata-katamu bukan hanya tersusun rapi, tapi punya irama. Kamu bukan hanya pandai berkata-kata, tapi juga pandai mendengar, memerhatikan. Dan entah bagaimana, percakapan denganmu tak pernah terasa singkat, meski waktu terus berlari.


Aku belajar banyak darimu. Bukan hanya dari isi pikiranmu yang luas, yang melampaui usia dan ruang. tapi juga dari caramu menyikapi dunia. Kamu tahu tentang banyak hal, tapi tidak pernah membuatku merasa kecil. Sebaliknya, kamu membuatku ingin terus tumbuh, supaya bisa berjalan sejajar, bukan hanya berdiri di dekatmu.

Berbicara denganmu… adalah kejadian langka yang ingin kuabadikan dalam kepala.

Bukan hanya karena suaramu yang menenangkan,

tetapi karena caramu merespon, menjelaskan, dan tertawa, seolah dunia ini tak seberat yang kita kira.

Ada kesenangan sederhana ketika aku melemparkan tanya, dan kau menjawabnya dengan penuh gairah pengetahuan.

Kau tahu segalanya.

Dari dunia hewan yang rumit,

hingga galaksi yang belum sempat dijamah manusia.

Dari akar bahasa kuno, keindahan budaya-budaya jauh,

hingga peristiwa sejarah yang bahkan aku lupa pernah diajarkan di sekolah.

Aku sering kali tertinggal dalam percakapan,

bukan karena tak mengerti,

tapi karena terlalu kagum menyimak matamu yang berbinar saat menjelaskan sesuatu yang kamu suka

Dan kamu begitu memesona, dalam cara yang tak dibuat-buat. Dari luar, kamu anggun. seperti sore yang menutup hari dengan tenang. Tapi di baliknya, ada sisi ceria yang begitu hidup. Caramu tertawa… caramu mengejek hal-hal kecil dengan tawa ringanmu, caramu menyimpan ribuan ekspresi yang muncul begitu jujur. semuanya membuatku percaya bahwa keindahan tak selalu harus keras. Terkadang, ia hadir dalam diam yang manis dan tingkah yang tak disadari.


Aku menyadari satu hal, sadar bahwa perasaan ini tumbuh bukan karena satu momen besar. Tapi dari hal-hal kecil yang tak henti-henti membuatku kagum. Caramu memperlakukan orang lain. Caramu berbicara pada anak kecil. Caramu berdiam saat tidak tahu harus berkata apa, tapi masih tetap ada. Perasaan ini muncul karena kamu tak pernah berusaha menjadi siapa pun, kecuali dirimu sendiri.


Aku tidak sedang menulis ini untuk mengutarakan janji besar. Tidak dengan kata-kata yang dibuat untuk memikat atau menundukkan. Aku hanya ingin berkata, dengan tenang, bahwa… bersamamu, hidup terasa lebih benar. Seolah segala kekacauan yang pernah ada dalam kepalaku, perlahan-lahan menemukan tempat untuk berhenti berkelana.


Maka jika suatu hari kamu merasa lelah, izinkan aku menjadi tempatmu pulang.

Jika kelak kamu ragu, biarkan aku yang menjaga arahmu.

Dan jika kamu bersedia... mari jalani hari-hari ke depan bersama. Dalam hujan dan terang, dalam diam dan tawa, dalam ribut dan reda. bukan sebagai dua yang sempurna, tapi sebagai dua yang ingin belajar saling menjaga.


Aku tidak datang dengan perasaan yang menggebu,

Aku datang dengan hati yang telah lama menetap.

Aku ingin kamu tahu… bahwa diam-diam, aku telah memilihmu,

untuk kusebut sebagai alasanku menetap.

Aku ingin terus melihat senyumanmu di akhir hari.

Aku ingin terus bertukar cerita, bahkan untuk hal-hal sepele.





Yogyakarta 28 Juli 2025,

Ditulis dengan hati yang berbunga.

Jumat, 25 Juli 2025

Yang Belum Pantas : Sebuah Novel Drama Semi-komedi tentang Kuasa, Kesetiaan, dan Pilihan Terberat

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 11.19 with No comments


Di tengah samudra yang tak lagi riuh oleh ombak, sebuah kapal berhenti bukan karena kerusakan mesin atau badai yang menggila, tetapi karena sesuatu yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih berbahaya: keretakan kepercayaan.

Cerita ini bukan tentang laut, setidaknya bukan hanya itu. Ini tentang kapal yang ditumpangi oleh lebih dari sekadar muatan, melainkan oleh ego, loyalitas, dan mimpi-mimpi yang diam-diam saling bersaing. Di dalam kapal itu, dua nahkoda berbagi kemudi di bawah keadaan darurat. Sebuah pilihan yang rasional saat badai menghadang, namun justru jadi pemantik ketegangan yang membakar lambat-lambat.

Saat keputusan penting diambil tanpa suara voting yang demokratis, saat jalur komando tak lagi dihormati oleh semua, sesuatu mulai bergerak dari balik bayangan. Tuduhan disusun, opini dipelintir, dan sejumlah kru yang menganggap dirinya "pembaharu" pun memulai rencana penggulingan dengan penuh strategi. Mereka bukan pembangkang terang-terangan. Mereka pintar. Tertawa di meja makan, tapi diam-diam mengatur siasat untuk menguasai geladak.

Namun di sisi lain kapal, di ruang-ruang kecil dan sunyi, beberapa kru mulai menyadari bahwa yang mereka naiki bukan sekadar kapal baja. Ini adalah tempat kerja, tempat hidup, tempat pulang. Dan jika kapal ini retak, maka mereka semua akan karam bersama.

Maka terbentuklah sebuah koalisi. Bukan dari orang-orang sempurna, tapi dari mereka yang cukup sadar bahwa sesuatu harus diselamatkan. Bukti demi bukti dikumpulkan, rekaman diputar ulang, dan setiap suara yang pernah terucap diam-diam, kini jadi amunisi kebenaran. Mereka tidak menuduh, mereka hanya menyalakan lampu sorot agar yang selama ini disembunyikan bisa terlihat dengan jelas.

Dan pagi itu pun datang.

Kabut pelabuhan Mumbai belum sempat pecah, ketika sirene darurat dibunyikan. Seluruh kru terbangun, masih dengan mata bengkak dan napas pendek. Di geladak, dua nahkoda berdiri berdampingan. bukan sebagai penguasa, tapi sebagai manusia yang siap membuka semua tabir.

Satu per satu rekaman diputar. Kalimat demi kalimat yang pernah dilontarkan dalam bisikan kini menggema di seluruh kapal. Intrik terbongkar. Manipulasi terkuak. Kebenaran, seperti ombak besar, menghantam semua ego yang pernah mencoba berdiri terlalu tinggi.

Kapal itu akan tetap berlayar, iya. Tapi tidak dengan cara yang sama.

Ada perubahan besar yang tak dikira oleh siapa pun.

Sebuah keputusan yang mengubah arah cerita dan arah hati mereka yang menyaksikannya.

Apa yang sebenarnya terjadi di pagi yang penuh kabut itu?

Mengapa kapal itu akhirnya kembali tenang, tapi meninggalkan jejak kehilangan yang sulit dijelaskan?

Dan, yang lebih penting…

siapa yang masih berdiri di geladak saat peluit keberangkatan akhirnya ditiupkan kembali?

Sebuah Drama Laut yang Menggetarkan Jiwa

"Yang Belum Pantas" adalah kisah yang memadukan strategi, etika kepemimpinan, dan renungan mendalam tentang relasi manusia di bawah tekanan. Lebih dari sekadar cerita konflik internal, ini adalah potret bagaimana kekuasaan bisa menjadi pedang bermata dua. mampu memimpin, namun juga bisa membelah dari dalam. Jika kamu menyukai fiksi sastra Indonesia yang kaya akan nuansa psikologis, ketegangan moral, dan penggambaran karakter yang berlapis, maka cerita ini akan menjadi pelayaran batin yang layak kamu ikuti.



Yogyakarta, 25 Juli 2025



Senin, 21 Juli 2025

Surat Cinta Untukmu

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 02.00 with No comments


Kepada kamu, yang belum benar-benar jadi milikku, tapi selalu jadi alas doaku.


Bagaimana mungkin aku bisa bosan padamu, sedang wajahmu adalah hal pertama yang ingin kuingat saat pagi membuka mata? Bahkan ketika dunia rasanya penuh hiruk dan hiruk, kamu tetap menjadi tenang yang tak pernah kutemukan di mana pun.


Setiap gerakmu… entah kenapa, seolah selalu punya alasan untuk membuatku jatuh cinta lagi. Tidak dengan cara heboh atau dramatis. Tapi perlahan, tenang, seperti hujan sore hari yang turun tanpa suara, dan tiba-tiba semuanya basah.


Kamu mungkin tidak tahu, atau barangkali kamu pura-pura tidak tahu, bahwa cintaku padamu bukan hal yang ringan. Kamu pelan-pelan menggugurkan seluruh keyakinanku bahwa cinta bisa diatur, bisa dijaga agar tetap logis. Sebab bersamamu, cinta justru jadi hal yang paling tak bisa kujelaskan. Dan anehnya, aku menyukainya begitu saja.


Kamu tak pernah bilang cinta. Aku pun tak pernah menagih. Sebab cinta, kalau memang nyata, akan terasa… bahkan tanpa suara. Dan aku merasakannya darimu, dari caramu tetap tinggal meski dunia membuatmu punya seribu alasan untuk pergi.


Ada kalanya aku rapuh, bahkan untuk diriku sendiri. Tapi kamu di sana. Kamu tidak memperbaiki segalanya, tapi kamu hadir dan itu lebih dari cukup. Ada kalanya kamu kecewa padaku, mungkin sering. Tapi tetap saja, entah kenapa, kamu tak pernah benar-benar pergi. Dan di sanalah aku jatuh cinta lagi. Lagi dan lagi.


Aku tahu, kamu tidak butuh janji-janji besar. Tidak perlu puisi, tidak perlu drama. Tapi izinkan kali ini, lewat surat ini, aku menuliskan apa yang selama ini tak sempat terucap:


Aku mencintaimu. Dengan cara yang tenang, tapi tak pernah selesai.

Aku merindukanmu. Bahkan ketika kamu ada di depan mataku.

Dan jika dunia ini harus diputar ulang seribu kali, aku tetap akan mencari kamu di mana pun, dalam bentuk apa pun.


Terima kasih sudah hadir, meski sebentar. Tapi cukup untuk mengubah cara pandangku terhadap cinta.


Dengan penuh rasa,

Aku, yang diam-diam menjadikanmu rumah.


Yogyakarta, 21 Juli 2025

Rabu, 02 Juli 2025

Keputusan Penting Dalam Hidup

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 19.01 with No comments


Mereka datang.

Seperti bayang senja yang beringsut di antara dinding dan jendela.

Mereka hadir tanpa janji akan tinggal,

hanya membawa serpihan manis dari sesuatu yang tak pernah utuh.


Bahagia, katanya.

Padahal itu hanya sementara, 

sekadar rasa yang menumpang sebentar,

lalu diam-diam menghilang ketika malam mulai menanyakan siapa yang benar-benar tinggal.


Kita tersisa sendiri,

menyusuri sunyi yang mereka tinggalkan,

berjalan menyulam luka yang tak mereka lihat,

menata napas di antara serpih harapan yang remuk oleh sikap yang tak pernah konsisten.


Mereka tidak pernah tahu,

bagaimana kita tertatih menenangkan diri sendiri setiap kali selesai mereka temui.

Bagaimana senyum mereka menjadi cambuk yang menyiksa,

ketika akhirnya kita sadar:

mereka hanya mampir, tidak pernah berniat menetap.


Dan setelah sekian banyak luka yang berulang,

setelah kita mencoba menjadi bijak dari kehilangan yang terlalu sering,

kita belajar satu hal yang mungkin tak romantis, tapi sangat perlu:

bahwa menjauh bukan berarti membenci, melainkan menjaga diri dari luka yang sudah tahu ujungnya seperti apa.

Bahwa membatasi diri dari mereka

yang hanya datang membawa kebisingan,

lalu pergi meninggalkan hampa,

adalah sebuah keputusan yang pahit tapi menenangkan.

Bahwa menutup pintu pada mereka

yang hanya tahu cara membuka tanpa pernah tahu caranya tinggal,

adalah bentuk tertinggi dari keberanian.


Karena pada akhirnya,

yang menyembuhkan bukan pelukan,

bukan pesan tengah malam,

bukan tawa sesaat, 

tapi keberanian untuk memilih sendiri,

menentukan siapa yang pantas diberi ruang.


Dan kau akan tahu:

sunyi kadang lebih setia daripada mereka yang terus-menerus melukai.

Kesendirian tak lagi menakutkan saat kau berdamai dengan kenyataan:

bahwa tak semua kehadiran patut dipertahankan,

dan tak semua yang kau sayangi layak kau kejar.


Kita tidak kehilangan mereka.

Kita justru menyelamatkan diri kita. 


Yogyakarta, 2 Juli 2025



Selasa, 01 Juli 2025

Proses, Perjalanan, dan Perubahan: Sebuah Tafsir Diam dalam Kacamata Jiwa

Posted by Deargantara Ibnoe Zekan on 09.56 with No comments



Roda dan jam dinding terus berputar. Tidak tergesa, tapi pasti. Seakan-akan mereka tahu, hidup bukanlah soal cepat atau lambat, melainkan soal tetap bergerak meski tak selalu tampak. Seperti detak jantung yang tak pernah memekakkan telinga, namun tanpanya segalanya akan berakhir.


Manusia pun demikian. Kita tumbuh, menua, mengalami, merasa, mencinta, terluka, dan sembuh. berulang-ulang. Di dalam diri kita, ada sekumpulan proses yang diam-diam bekerja, seperti metamorfosis seekor ulat yang tidak butuh tepuk tangan saat menjelma menjadi kupu-kupu. Sebab perubahan, pada hakikatnya, tidak selalu butuh sorak-sorai. Ia cukup diketahui oleh hati.


Tetapi mari kita akui bersama: segala yang bergerak, cepat atau lambat, akan letih. 

Dan lelah adalah hal paling manusiawi yang pernah kita punya.


Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menyembah produktivitas, kita diajari untuk terus berlari, terus berkarya, terus jadi “versi terbaik” dari diri sendiri. Tapi siapa yang menjelaskan bahwa menjadi lelah bukan berarti menjadi lemah? Bahwa berhenti sejenak bukan bentuk kegagalan, melainkan upacara pemulihan yang agung? 


Dalam keheningan malam atau pada hujan yang turun perlahan, kita mungkin menemukan diri kita rebah, bertanya-tanya: Untuk apa semua ini? Ke mana harusnya langkah ini dibawa? Dan pada saat itulah, barangkali, kita perlu belajar berhenti tanpa merasa bersalah.

Berhenti untuk mendengarkan kembali napas sendiri.

Mundur bukan untuk menyerah, melainkan untuk mengambil sudut pandang yang lebih jernih.

Menjauh bukan untuk melupakan, tapi untuk mengingat ulang. apa yang sesungguhnya penting.


Diam bukan kekalahan. Diam adalah bentuk cinta paling jujur kepada diri sendiri.

Ia adalah pelukan yang tidak tampak. Ia adalah ruang kosong yang penuh makna.


Lihatlah para penyair. mereka tak menulis saat dunia gaduh. Mereka menunggu sepi datang, menunggu kalimat lahir dari reruntuhan rasa yang diam-diam dipungut kembali. Lihatlah para pelukis, mereka tak menuang warna saat dikejar. Mereka duduk, memandangi kanvas, berdialog dengan sunyi, sebelum akhirnya sebuah goresan mewakili perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan lisan.


Maka, kenapa kita "yang juga manusia, yang punya jiwa dan luka" tak boleh diam?

Mengapa kita merasa berdosa saat tidak produktif? Padahal, kadang diam itu sendiri adalah produktivitas spiritual, sebuah laboratorium batin tempat segala rencana besar mengendap dan menyusun ulang bentuknya.


Sebab dalam diam, kita baru bisa mendengar suara terdalam yang selama ini tertutupi oleh tuntutan.

Dalam diam, kita baru bisa menyadari bahwa setiap perjalanan, betapapun kacau atau lambatnya telah membentuk kita jadi pribadi yang lebih dalam, lebih luas, dan lebih tangguh.


Dan dari diam yang hening itulah, akan lahir keberanian baru.

Keberanian untuk kembali berjalan, meski lambat.

Keberanian untuk berubah, meski tak semua orang mengerti arahmu.

Keberanian untuk bangkit, bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk memeluk diri sendiri dengan lebih utuh.


Proses, perjalanan, dan perubahan. tiga kata yang tampak sederhana tapi menyimpan ribuan kisah di dalamnya. Dan di antara ketiganya, diam adalah jembatan yang menuntun kita dari yang lama menuju yang baru.


Jadi, bila hari ini kamu merasa lelah, tak apa.

Tarik napas. Rebahlah. Menangislah bila perlu.

Sebab esok, ketika kamu bangkit dari diam yang panjang itu, kamu bukan lagi kamu yang kemarin.

Kamu adalah kamu yang sudah lebih tahu arah, lebih tahu rasa, dan lebih tahu makna.


Dan mungkin, di situlah kemajuan yang sebenarnya. 


Yogyakarta, 01 Juli 2025